Aksi Kamisan Perdana Di Tondano, DIBUBARKAN.
SulutDaily || Tondano – Kamis 22/04/2021 Kepolisian Resort Minahasa bersama Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa membubarkan aksi “Kamisan” yang digelar oleh kumpulan aktivis mahasiswa Universitas Negeri Manado (UNIMA). Aksi perdana yang mengambil titik aksi didepan lapangan Samratulangi dan didepan Kantor Bupati Minahasa yang mengumpulkan masa aksi hampir 50-an Mahasiswa terpaksa dibubarkan karena tidak memiliki izin dan dibubarkan dengan alasan Covid-19.
Aksi Kamisan adalah sebuah aksi yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara yang dilakukan oleh korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Aksi ini pertama kali dimulai pada tanggal 18 Januari 2007. Tuntutan dari kegiatan ini adalah menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, dan Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989 dan lain-lain.
Rizki salah seorang pendemo sangat menyesalkan pembubaran ini, karena mereka sudah melayangkan surat pemberitahuan sebelum turun aksi. Menyayangkan juga karena alasan Covid 19, padahal banyak acara partai dan acara instansi lain yang mengumpulkan puluhan orang bisa dilaksanakan. “Sebelum aksi Kamisan ini kami sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada Polres Minahasa. Jika alasannya C.19, kenapa acara lain seperti acara partai atau acara instansi bisa dilaksanakan” ungkap Kiki. Bahkan sampai membuka spanduk Pelanggaran HAM saja tidak diijinkan, bahkan duduk saja ditrotoar dilarang malahan ditakut-takuti.
Aksi ini seperti ini akan dilaksanakan minggu depan dengan mengirim surat 3 hari sebelum pelaksanaan kegiatan agar dikeluarka ijin dari Kepolisian.
Awal mula dilaksanakannya Aksi Kamisan diprakarsai oleh 3 keluarga korban pelangaran HAM berat, yaitu (1) Maria Katarina Sumarsih, orang tua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I, (2) Suciwati, istri mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib, dan (3) Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966.
Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menjalankan programnya. Perwujudan kamisan lebih kepada aksi damai dengan bentuk demonstrasi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang semakin mengabaikan penyelesaian HAM terutama Trisakti, Semanggi I dan II. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu kemudian menimbulkan efek domino berupa sikap aktif dari para keluarga korban dalam menyuarakan aspirasinya.
JSKK sendiri baru mengagendakan kamisan 2 tahun setelah mereka berdiri dan mantap sebagai paguyuban yang memayungi korban pelanggaran HAM di masa lalu. Sebelumnya JSKK sendiri hampir bubar, dengan alasan bahwa agenda keorganisasian JSKK berbenturan langsung dengan Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Namun dalam perjalanannya, forum JSKK memutuskan agar paguyuban terus jalan dan kelak membubarkan diri jika dirasa sudah tidak efektif
Sasaran dari aksi kamisan adalah empat lembaga yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasus pelanggaran HAM. Yaitu presiden sebagai penerbit regulasi bernama Keputusan Presiden (Keppres), DPR sebagai instansi yang merumuskan surat rekomendasi kepada Presiden, komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.
Namun, yang menjadi sorotan dari para korban pelanggaran HAM pada aksi kamisan ialah presiden, dengan pertimbangan yang mengacu pada substansi UU No. 26 tahun 2000, dimana presiden memegang peran sebagai pembuat keputusan utama dalam pembentukan pengadilan adhoc maupun Keppres yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut Bedjo Untung, salah satu korban pelanggaran HAM pada kasus pasca 1965, target utama dari aksi kamisan ini agar presiden memberikan respon nyata dan positif terhadap kasus penyelesaian pelanggaran HAM. Menurut beliau, presiden serta ketegasannya merupakan kunci utama dalam penegakan keadilan hak asasi manusia di Indonesia. (Natan W)