Perubahan Iklim vs Bank Sampah

Perubahan Iklim vs Bank Sampah

SAMPAH merupakan masalah serius karena dapat menimbulkan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global lalu terjadilah perubahan iklim. Dampak perubahan iklim yang kini kita rasakan khususnya di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, antara lain suhu udara semakin panas, tiba-tiba hujan dan banjir. Hal itu telah menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bahkan banjir baru-baru ini memakan korban nyawa.

Dilansir dari ditjenpp.kemenkumham.go, beberapa dampak perubahan iklim terkait kenaikan suhu global yaitu adanya peningkatan intensitas dan frekuensi bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, kebakaran hutan, serta perubahan pola curah hujan. Selain itu, perubahan iklim juga mempengaruhi ekosistem, kesehatan manusia, sektor ekonomi seperti pertanian, perikanan hingga pariwisata.

Lalu apa hubungannya dengan bank sampah? Tentu saja, program ini merupakan satu dari berbagai solusi untuk mencegah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Terdengar sepele tapi secara sederhana Bank Sampah jika dijalankan dengan benar oleh semua lapisan masyarakat bisa mengurangi produksi emisi karbon dari efek gas rumah kaca tersebut.

Secara sederhana Bank Sampah adalah sebuah usaha jual-beli sampah. Bank Sampah bukan tempat sampah. Dalam prosesnya pemilik bank sampah hanya akan menerima sampah terpilah dari masyarakat. Tentu saja hal ini akan mendorong setiap orang untuk memilah sampah dari rumahnya bahkan dari dapurnya.

Selanjutnya sampah plastik akan didaur ulang, sampah organik seperti sisa-sisa makan, dedaunan dan sampah basah lainnya bisa diproses menjadi pupuk kompos. Jadi, sebenarnya semua sampah bisa didaur ulang jika sudah terpilah dan ada pengelolanya secara sistematis. Jika dibantu dengan teknologi yang modern dari program pemerintah bukankah pengelolaan sampah akan menjadi sumber energi terbarukan? Jika saja pemerintah peduli soal solusi sederhana yaitu program bank sampah.

Pada dasarnya Tuhan Sang Pencipta sudah membuat siklus ‘daur ulang’ agar planet bumi ini tetap bertahan. Hanya saja, pemerintah terlalu sibuk memikirkan program-program maha dahsyat yang sebagian besar ujung-ujungnya menjadi mega korupsi sehingga masalah sampah menjadi makin bermasalah. Ingat, sampah tidak akan menunggu hasil inkrah sebuah kasus korupsi untuk menjadi gas metana yang bisa menyebabkan ledakan dahsyat di TPA.

Sampah, terutama sampah organik dan plastik, menghasilkan gas rumah kaca saat terurai. Gas rumah kaca ini menghasilkan metana dan karbon dioksida yaitu penyebab utama pemanasan global yang kasat mata. Jadi, sampah yang tidak terkelola dengan baik bukan hanya menyebabkan lingkungan kotor, tetapi memperparah perubahan iklim.

Bisa dibayangkan gaya hidup manusia modern saat ini dengan jumlah produksi sampah setiap hari. Setiap rumah pasti menghasilkan sampah. Tinggal di desa, di kota, di kapal, di pesawat, di kantor atau di manapun pasti manusia akan menghasilkan sampah karena manusia harus makan dan proses pengolahan makanan pasti menghasilkan sampah.

Menurut data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk provinsi Sulawesi Utara adalah lebih dari 2.7 juta jiwa. Bisa dibayangkan produksi sampah yang dihasilkan setiap orang karena dari bayi hingga orang dewasa setiap hari pasti makan dan minum. Ada proses pengolahan dan pastinya menghasilkan sampah.

Data produksi sampah seperti disembunyikan pemerintah. Entah demi image atau penghargaan apa, tapi tindakan menyembunyikan fakta tanpa disadari akan menyebabkan masalah ini menjadi ‘bom waktu’. Jangan salah, sampah bisa menjadi bom alias meletus tiba-tiba. Ini bukan teori karena terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Akibat letusan yang dipicu gas metana ini ada 157 orang meninggal dunia. Akibat sejarah kelam inilah sehingga KLHK menetapkan 21 Februari sebagai Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Sebuah media lokal wanua.id pernah memuat data jumlah produksi sampah tersebut. Ditulisnya bahwa sampah di Sulawesi Utara pada tahun 2024 mencapai angka yang signifikan berdasarkan data terbaru dari SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kota Manado tercatat sebagai penyumbang timbulan sampah harian terbesar dengan 291,20 ton per tahun atau setara 106.288 toh per tahun. Disusul, Kabupaten Minahasa sebesar 175,13 ton per hari atau 63.922 ton per tahun, dan Kota Bitung dengan 159,06 ton sampah harian (58.055,22 ton per tahun). Total keseluruhan timbulan sampah tahunan di Sulawesi Utara mencapai 505.276,76 ton.

Sampai kapan TPA di setiap kabupaten kota akan bertahan? Akankah daerah kita pasrah dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim? Seharusnya pemerintah bisa memulai dengan program bank sampah daripada waktu terbuang percuma untuk melakukan penelitian, analisis anggaran atau menunggu datangnya teknologi canggih dari negara super power.

CATEGORIES
TAGS
Share This