8 Poin Refleksi Mei 1998, 22 Tahun Luka yang Terlupa

8 Poin Refleksi Mei 1998, 22 Tahun Luka yang Terlupa

Ketua YSNM Jull Takaliuang

SULUTDAILY|| Manado- Koalisi Masyarakat Sipil Sulut yakni Walhi Sulut, Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Manado dan Aliansi Masyarakat Menolak Tambang (AMMALTA) mengingatkan negara tentang sejumlah kasus kekerasan yang hampir sama dengan kasus Mei 1998 yang terjadi di Sulawesi Utara.

Pelangi yang selalu dijanjikan tak kunjung datang, selang waktu 22 tahun merupakan sebuah keganjilan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat atas hak asasi manusia terhadap aktivis demokrasi.

Hal tersebut terjadi pada upaya penuntasan Tragedi Mei 1998. Jangka waktu yang demikian cukup menjadi bukti bahwa negara benar-benar secara sengaja mengabaikan darah yang telah menjadi korban dalam perjuangan mencapai reformasi pada 1998 silam.

Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Kerusuhan Mei 1998, ditemukan beberapa variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka akibat kerusuhan tersebut.

“Data Tim Relewan menunjukkan sebanyak 1.190 orang meninggal dunia akibat terbakar atau dibakar, 27 orang meninggal akibat senjata dan lainnya, 91 orang luka-luka. Sementara berdasarkan data Kepolisian Daerah (Polda) ditemukan 451 orang meninggal, dan korban luka-luka tidak tercatat,” kata Ketua YSNM Jull Takaliuang mengingatkan.

Selanjutnya berdasarkan data Komando Daerah (Kodam) ditemukan 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka. Kemudian berdasarkan data Pemerintah Daerah DKI Jakarta ditemukan 288 orang meninggal dunia, dan 101 orang luka-luka.

Di kota-kota lain, di luar Jakarta, temuan angka korban juga bervariasi. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ditemukan sebanyak 30 orang meninggal dunia, 131 orang luka-luka, dan 27 orang luka bakar.

Sedangkan berdasarkan data Tim Relawan ditemukan sebanyak 33 orang meninggal dunia, dan 74 orang luka-luka (Temuan TGPF, Publikasi Komnas Perempuan, 1999).

Selain itu, TGPF juga menemukan adanya kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998. TGPF menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.

Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial (Temuan TGPF, Publikasi Komnas Perempuan, 1999).

Namun usaha dan progres yang telah dilakukan tersebut kini menjadi lelucon politik bagi para penguasa. Bukti-bukti tersebut harus kandas ditangan Kejaksaan Agung dengan berulangkali mengembalikan dokumen hasil penyelidikan kepada Komnas HAM yang terakhir terjadi pada tahun 2018.

Proses tersebut terus berulang akibat dari menguatnya impunitas pelaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Relatif selama dua dekade peristiwa itu berlangsung tidak ada kemajuan dan kepastian kapan impunitas akan berakhir.

Selama rentang waktu itu pula para korban dan keluarganya harus menanggung penyiksaan batin dan fisik akibat belum adanya pertanggungjawaban negara untuk mengakui secara resmi, memulihkan martabat dan hak-hak korban serta menegakkan supremasi hukum.

Peringatan 22 Tahun kerusuhan Mei 1998 ini, dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Utara, sebagai upaya merawat ingatan, penyadaran publik dan Negara, serta menjadi bukti perlawanan kepada negara yang kerap memberikan kesempatan kepada para pelaku pelanggar HAM duduk di kursi kekuasan.

Peringatan ini juga dilakukan sebagai momen refleksi dari perjuangan korban dan keluarga korban yang setiap tahunnya selalu terus mendesak negara untuk segara melakukan tugasnya memberikan keadilan dan juga pemulihan kepada korban dan keluarga korban, meskipun kerap berakhir pilu karena tidak adanya komitmen nyata dari para elit yang berada dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif.

Dalam momen peringatan ini, Koalisi Masyarakat Sipil Sulut mengingatkan negara bahwa ada begitu banyak kasus-kasus kekerasan yang hampir sama dengan kasus Mei 1998 yang terjadi di Sulawesi Utara, dengan menggeser pelanggaran ham ke wilayah ekosob, antara lain ;

  1. Kasus Tiberias, Poigar, Sulut, mereka menjadi korban kriminalisasi dan tindak kekerasan baik fisik maupun psikis oleh oknum-oknum aparat TNI Koramil Poigar, Kepolisian Polsek Poigar, dan Polres Bolmong, namun di tingkat peradilannya, Pengadilan Negeri Kota Kotamobagu mereka diputus tidak bersalah, sementara kasus rekayasa lainnya tetap dipaksa untuk tetap berjalan. Belum lagi soal ketidakhadiran Negara dalam proses-proses perebutan lahan yang sudah lama dikuasai oleh masyarakat dengan pihak PT. Malisya Sejahtera yang berlindung pada rekayasa penegakan hukum. Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, mengalami penindasan dan diskriminasi sosial.
  2. Menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi dan penghormatan terhadap Hukum dan HAM di Indonesia. Perjuangan menggerus otoritarianisme yang mengorbankan ribuan nyawa ini harus menjadi upaya reflektif bersama bagi para elit politik dan juga masyarakat Indonesia untuk menyudahi budaya kekerasan di Indonesia. Seperti kasus di Pulau Bangka Minut yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, mohon dengan sangat Negara menghormatinya dan tidak menerbitkan lagi izin baru untuk pertambangan di Pulau Bangka, Minahasa Utara.
  3. Hak Asasi untuk memperoleh penghidupan yang layak pula wajib diperjuangan dalam moment saat ini, yaitu hak masyarakat untuk dapat hidup sehat, bersih dan nyaman di lokasi seputaran TPA Sumompo yang sudah sangat over kapasitas dan merusak, mencemari lingkungan hidup.
  4. Hak Asasi Komunitas Masyarakat Paputungan pada dasarnya merupakan perampasan hak hidup petani dan nelayan dengan alasan investasi pariwisata yang sarat dengan konspirasi antara penguasa dan pengusaha.
  5. Hak Asasi Komunitas Masyarakat Candi di Bitung yang digusur secara melawan hukum oleh karena kegagalan pemerintah daerah dalam memefrangi kemiskinan.
  6. Hak Asasi Komunitas Masyarakat di Makawidey yang terjadi oleh pembiaran pemerintah daerah dan mengesampingkan reforma agraria membuat rakyat ibarat tikus mati dalam lumbung, mati di dalam berlimpahnya sumber daya alam yang telah dibagi-bagi kepada pengusaha-pengusaha terindikasi mafia tanah.
  7. Hak Asasi Komunitas Masyarakat di Binjeita, dimana pemerintah mendorong terciptanya kerusakan lingkungan di tengah-tengah ruang hidup warga, dan warga dibungkam dengan alasan pemerintah adalah tukang perintah belaka.
  8. Hak Asasi puluhan ribu masyarakat dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bolmong, tanah-tanah garapan rakyat dengan semena-mena dan melawan hukum DIRAMPAS demi perkebunan kelapa sawit.

Semoga pemerintah menjamin pemenuhan HAM bagi masyarakat Indonesia melalui penegakan hukum dan menjamin keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat rentan di Indonesia.(***)

CATEGORIES
TAGS
Share This