Di Era Konvergensi, Media Cetak Menjadi Kuno

Sarasehan Dewan Pers ‘Tantangan Pers Daerah di Era Digitalisasi’ (1)

Media berbasis internet kini sedang marak di Indonesia. Media cetak pun menjadi media kuno dan ‘dinosaurus’.  Kehadiran internet mulai merambah dunia jurnalisme dan revolusi besar terjadi saat world wide web (www) ditemukan.   Seperti layaknya dunia jurnalisme, penyebaran informasi secara meluas menjadi point penting dalam ‘pertarungan’ bisnis media massa.

‘’  Tidak heran jika internet yang demikian hebat semakin menyokong penyebaran informasi secara pesat dan meluas.   Inilah kemudian yang disebut dengan jurnalisme online, dimana penyebaran informasi kepada masyarakat dilakukan dengan basis internet,’’ demikian pernyataan awal yang disampaikan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat membawakan materi dengan tema’ Peluang Media Daerah dalam Era Konvergensi’ dalam acara Sarasehan Dewan Pers bertajuk ‘Tantangan Pers Daerah di Era Digitalisasi’ yang digelar Dewan Pers di Novotel Manado Kamis (03/11/2016).

data-pembacaKonvergensi media adalah penggabungan atau menyatunya saluran-saluran keluar (outlet) komunikasi massa, seperti media cetak, radio, televisi, Internet, bersama dengan teknologi-teknologi portabel dan interaktifnya, melalui berbagai platform presentasi digital. Gerakan konvergensi media tumbuh berkat adanya kemajuan teknologi  dan munculnya Internet dan digitalisasi informasi. Konvergensi media ini menyatukan ‘tiga-C’ (computing, communication, dan content).

Menurut Prasetyo,  terjadinya integrasi teknologi internet dan multimedia dengan mengombinasikan teknologi digital, satelit, dan seluler untuk menyampaikan teks, audio, gambar, grafik atau visual kepada khalayak pembaca, pendengar dan pemirsa kapan saja dan di mana saja melalui sebuah perangkat personal (smart phone) menyebabkan  media cetak menjadi media kuno dan ‘dinosaurus’ . ‘’ Saat ini adalah era konvergensi dan media cetak harus menyesuaikan diri,’’kata Ketua Dewan Pers yang akrab dipanggil Staley.

Di Indonesia diperkirakan terdapat  sekitar 2.000 media media cetak. Namun dari jumlah tersebut hanya 567 media  cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional (Data Pers 2014). Sedangkan media online/siber diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi hanya hanya 211 media  online saja. Selain itu hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi.

Dalam persaiangan bisnis, media online sudah pasti akan menjadi pemenangnya karena jumlah berita yang ditayangkan di jurnalisme online lebih lengkap dan informasi yang dapat disampaikan dapat dilakukan secara cepat dan langsung kepada komunikan. ‘’ Jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya dalam berita, sementara dalam media cetak hanya dapat tersampaikan teks maupun gambar saja,’’ ujar Prasetyo.

tiga-macam-persTerkait soal wartawan, Prasetyo menggelompokan dalam 3 model yakni wartawan profesional, wartawan partisan dan wartawan ‘abal-abal’. Media profesional didominasi oleh wartawan profesional, wartawan partisan ada tapi tak dapat tempat dan posisi penting. Media partisan didominasi wartawan partisan, wartawan profesional terpinggirkan dan frustasi, wartawan abal-abal eksis. Media abal-abal diperankan oleh para wartawan ‘abal-abal’

‘’  Terkait persyaratan badan hukum dan verifikasi, serta penggunaan nama-nama yang tidak boleh digunakan ratusan (dan mungkin ribuan) media abal-abal yang tadinya terbit mingguan ramai-raai bermigrasi ke media online,’’ kata Prasetyo.

Media abal-abal memiliki ciri tidak berbadan hukum perusahaan pers, alamat redaksi tidak jelas, tidak mencantumkan nama penanggungjawab dalam boks redaksi serta terbit temporer. Kadang terbit, kadang tidak. Isi cenderung melanggar kode etik dan bahasa yang digunakan tidak memenuhi standar baku, nama media terkesan menakutkan  seperti KPK, BIN, Tipikor, ICW.(Jeane Rondonuwu/bersambung)

 

TAGS
Share This