GAMKI: Terorisme Ancaman Kemanusiaan dan NKRI

SULUTDAILY|| Manado- Peledakan Bom di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kota Samarinda, Kalimantan Timur yang telah memakan 4 balita mengalami luka bakar dimana kemudian satu di antaranya Intan Olivia Marbun berusia dua tahun meninggal dunia telah menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.

Ketua DPD GAMKI Sulut Meidy Tinangon dalam pernyataan persnya menyampaikan sikap mengecam tindakan peledakan bom di gereja Oikumene Samarinda yang merupakan tindakan terorisme dan menodai nilai kemanusiaan dan keberaagamaan. Terorisme menjadi ancaman bukan saja bagi keutuhan NKRI tetapi bagi nilai kemanusiaan universal.

”Terorisme tak setara dengan penistaan terhadap agama,  namun lebih kejam dari penistaan agama, karena nyata-nyata menghilangkan hak hidup manusia dan menebarkan rasa tak nyaman bagi setiap warga negara. Peristiwa ini bukanlah persoalan agama tertentu semata,  tetapi persoalan kemanusiaan dan hak azasi warga negara  dalam kesetaraan serta merupakan persoalan wibawa negara yang dalam ancaman teroris. Dari sisi pidana, peledakan bom di Samarinda merupakan tindak pidana terorisme, bukan tindak pidana penodaan /  penistaan agama,” kata Tinangon didampingi Sekretaris Billy Kawuwung.

Menuru GAMKI, aksi terorisme yang terjadi di Samarinda merupakan salah satu indikator bahwa negara belum sepenuhnya menjamin rasa nyaman bagi warga negara, apalagi ternyata tersangka pelaku menurut keterangan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian mengatakan pelaku bernama Joh alias Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia, 32 tahun, pernah menjalani hukuman pidana 3,5 tahun pada 2012 dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014. Diketahui Juhanda juga bergabung dengan kelompok Jemaah Ansyarut Tauhid (JAT) yang didirikan Abubakar Baasyir, terpidana kasus terorisme yang sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ketika dia mendekam di Nusakambangan.
” Patut dipertanyakan mengapa  dengan mudahnya negara memberikan remisi atau penguruangan hukuman kepada para terpidana kasus terorisme ? Remisi yang dengan mudah diberikan merupakan pertanda bahwa instrumen hukum di negara kita masih menganggap terorisme sebagai kejahatan biasa,” ujar Tinangon.
Terkait berbagai kasus teroris dalam penelusuran GAMKI, terdapat banyak  pelaku tindak pidana terorisme yang telah bebas atau mendapatkan remisi.  Diantaranya, pada 6 Agustus 2014  Narapidana kasus teroris, M Kholili dinyatakan bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Klas 1A Lowokwaru, Malang. Pembebasan itu didasari remisi Idul Fitri 1435 H. Kholili dikenal sebagai anggota jaringan teroris pimpinan Dr Azahari dan Noordin M Top, yang terlibat dalam insiden Bom Bali II.
Bulan Agustus 2016 terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir yang pada 16 April 2016, dipindahkan dari LP Nusa Kambangan ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat mendapatkan remisi untuk kedua kalinya sepanjang 3  bulan. Terpidana terorisme tersebut sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ketika dia mendekam di Nusakambangan;

Agustus 2016, empat terpidana kasus terorisme penghuni lembaga pemasyarakatan yang ada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dinyatakan bebas dari hukuman. Mereka bebas setelah menerima remisi atau pengurangan hukuman dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia.     Bulan Agustus 2016 sebanyak 5 terpidana Kasus Terorisme di Lapas Kelas 1 Cipinang Bebas setelah mendapatkan remisi dan  tujuh napi kasus terorisme penghuni Lapas Klas 1 Makassar mendapatkan remisi,” jelas Tinangon yang juga adalah Ketua KPUD Minahasa.

Untuk itu, GAMKI Sulut meminta Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk menghentikan pemberian remisi kepada terpidana terorisme. Stop remisi teroris !  Kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa sebagaimana juga korupsi. Pelaku teror bisa saja menunjukan sikap baik dalam tahanan namun terbukti melalui kasus Samarinda, sikap baik dalam lembaga pemasyarakatan ataupun juga mendapat pendidikan Pancasila yang menjadi syarat remisi, belum menjamin efek  jera, kerena kejahatan terorisme merupakan kejahatan yang bersumber dari ideologi. Meminta dalam proses hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa Samarinda dihukum seberat-beratnya;

Meminta warga masyarakat Sulut tidak terpancing dengan peristiwa Samarinda dan menghindari sikap kebencian terhadap sesama pemeluk Agama. Jangan identikan perilaku terorisme dengan Agama tertentu, seakan-akan agama yang dianut pelaku teror tidak bersahabat dengan umat Kristen. Prinsipnya semua Agama mengajarkan perdamaian. Pelaku terorisme hanyalah oknum atau kelompok tertentu yang tidak bisa digeneralisir mewakili sikap agama yang mereka anut. Karenanya, kami meminta masyarakat menghindari sikap kebencian terhadap  agama yang lain dan mempererat komunikasi antar sesama warga meskipun berbeda keyakinan agama.

Menyerukan kepada sesama kader GAMKI dan Pemuda Gereja untuk bersama-sama Pemerintah, Aparat Keamanan, dan Organisasi Pemuda lintas agama lainnya untuk turut berpartisipasi menjaga kenyamanan di bumi Nyiur Melambai apalagi Sulawesi Utara akan menjadi tuan rumah Natal Nasional 2016 dan Paskah Sedunia 2017, sebagai wujud dukungan terhadap event keagamaan tersebut.(Jr)

TAGS
Share This