Rupiah Di Titik Nol Utara NKRI: Catatan  Pejuang Rupiah ERB Sulut 2025

Rupiah Di Titik Nol Utara NKRI: Catatan Pejuang Rupiah ERB Sulut 2025

Penulis: Raja Alfredo Siregar, dan Christian Elric Koba

Fajar menyingsing di Dermaga Satrol Bitung. Riuh debur ombak beradu dengan suara peluit kapal perang KRI Pari-849, menandai dimulainya sebuah misi bersejarah: Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) Sulawesi Utara Tahun 2025.

Tim ERB merupakan Pejuang Rupiah dari berbagai daerah bersama TNI AL memulai misi negara. Keberangkatan kami dilepas oleh Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara bersama Wakil Walikota Bitung, Komandan Lantamal VIII, pejabat perbankan dan jajaran Forkopimda. Pada kegiatan ini, kami akan membawa sekitar Rp5,1 miliar uang layak edar.

Perjalanan kami dalam mendistribusikan Rupiah layak edar dimulai pada 20 Mei 2025 menuju kepulauan Kakorotan, Miangas, Kawio, Kawaluso dan Tagulandang. Selama perjalanan terdapat kata-kata Kepala Perwakilan BI Sulawesi Utara yang terus kami ingat yaitu tugas kami bukan hanya tentang mengedarkan uang, melainkan juga menjaga kedaulatan negara hingga di perbatasan negeri.

Tragedi lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari pangkuan NKRI diantaranya karena keengganan masyarakat menggunakan Rupiah menjadi pembelajaran berharga yang tidak boleh terulang kembali.

Setelah 20 jam pelayaran dilalui, kami tiba di Pulau Kakorotan, Kabupaten Kepulauan Talaud, salah satu pulau terdepan NKRI di Laut Sulawesi. Garis pantai berpasir putih, rumah-rumah kayu sederhana dan tatapan ramah warga menyambut kami bagai keluarga yang lama tak berjumpa.

Kegiatan penukaran uang layak edar berlangsung sederhana tapi mengharukan. Dalam waktu 5 jam, kami berhasil melakukan penukaran uang Rupiah senilai Rp391,7 juta kepada sekitar 200 masyarakat.

Seorang Ibu datang membawa uang lusuh yang disimpan dalam kaleng kopi, sementara para nelayan menukar uang robek hasil jual ikan dengan lembaran baru. Di tengah keakraban itu, seorang warga berbisik, “Terima kasih, Pak. Uang baru ini tanda torang masih dijaga negara.” Kalimat itu sederhana tapi sangat menggetarkan, kalimat yang menegaskan bahwa di balik setiap lembar Rupiah tersimpan makna kehadiran negara.

Selanjutnya kapal berlayar selama 6 jam sebelum akhirnya bersandar di Pulau Miangas, titik KM 0 Utara NKRI, sebuah pulau kecil yang secara geografis lebih dekat ke Davao, Filipina, namun denyut nadi ekonomi disana tetap berdetak untuk Indonesia.

Anak-anak sekolah berlari di dermaga sambil melambai-lambai, menyambut kami dengan sorak, “Selamat datang, Bank Indonesia!” Di sana, kami menggelar layanan kas keliling dan edukasi Cinta, Bangga, Paham Rupiah (CBP Rupiah). Salah satu momen tak terlupakan terjadi ketika seorang pria berseragam dengan bendera Filipina di lengannya mengikuti kegiatan dengan antusias.

Ia memperkenalkan diri sebagai Tsgt. Ramil DL. Diman (PN), seorang Border Crossing Officer dari Filipina. Dengan logat khas, ia bertanya sambil memegang uang kertas: “Who’s the hero in this money?” Kami pun menjelaskan bahwa di balik setiap uang Rupiah, ada kisah perjuangan bangsa. Ia lalu tersenyum sambil membandingkan dengan uang Peso-nya.

Di momen itu, kami menyadari: Rupiah juga merupakan jembatan diplomasi dan persahabatan lintas batas. Selama 8 jam di pulau Miangas, kami berhasil melakukan penukaran uang Rupiah sebesar Rp613,8 juta dan melakukan edukasi kepada sekitar 300 orang.

Dari Miangas, pelayaran dilanjutkan selama … jam menuju Pulau Kawio dan Pulau Kawaluso di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Dua pulau kecil ini menjadi bukti nyata semangat masyarakat perbatasan tetap teguh menjaga merah putih di halaman rumahnya. Pada 22-23 Mei 2025, di dua pulau ini, kami berhasil melakukan penukaran uang Rupiah sekitar Rp750,4 juta kepada sekitar 400 orang.

Beberapa momen berkesan saat melakukan edukasi di Pulau Kawio, kami mengajarkan anak-anak mengenali unsur pengaman uang Rupiah. Mereka berebut menerawang uang ke cahaya dan bersorak, “Kelihatan, Pak! Ada benangnya! ”. Tawa mereka adalah suara masa depan yang mencintai negerinya.

Sementara di Kawaluso, seorang nelayan bercerita, “Kadang torang barter ikan dengan barang, soalnya uang jarang ada.” Pernyataannya mengingatkan kami bahwa inklusi keuangan harus diperjuangkan, agar Rupiah berfungsi sebagai alat transaksi dalam denyut ekonomi masyarakat.

Hari terakhir ekspedisi membawa kami ke Pulau Tagulandang, di Kabupaten Sitaro. Terdapat sekitar 22.000 jiwa yang tinggal di pulau ini. Kami melakukan kegiatan penukaran uang selama 6 jam dengan nominal mencapai Rp3,3 miliar.

Di akhir kegiatan, langit sore berwarna jingga menciptakan siluet kapal dan bendera Merah Putih di cakrawala, kami menutup misi ERB. Mata kami berkaca-kaca. Dalam desir angin laut, saya mendengar gema bisikan hati: “Selama Rupiah masih beredar, Indonesia akan selalu ada.”

Perjalanan selama seminggu di lautan Nusa Utara adalah perjalanan batin tentang arti cinta tanah air dan bagaimana uang bisa menjadi simbol martabat bangsa. Kami belajar bahwa menjaga Rupiah bukan hanya tentang memastikan fisiknya tetap layak edar, melainkan menjaga kepercayaan masyarakat kepada negara.

Setiap senyum yang kami temui di Kakorotan, Miangas, Kawio, Kawaluso dan Tagulandang adalah bukti bahwa Rupiah hadir dan bangsa ini ada.

Ketika KRI Pari-849 kembali merapat di pelabuhan Kota Bitung, laut tampak berkilau seperti cermin. Kami melihat pantulan wajah seluruh kru yang lelah, tapi penuh arti dan tetap semangat.

Saat kapal berlabuh di pelabuhan, kami berpisah dengan kru TNI AL di dermaga seraya melambaikan tangan dan berteriak, “Sampai baku dapa ulang, torang samua basudara!” Kalimat itu menjadi penutup yang indah dari perjalanan ini.

Kami, para Pejuang Rupiah, berjanji akan terus menjaga kedaulatan Rupiah di setiap pulau bahkan wilayah terluar NKRI. Selama laut masih berombak dan angin masih bertiup, semangat Pejuang Rupiah tidak akan pernah padam.(***)

CATEGORIES
Share This