Perubahan Iklim, Sang Pemusnah Massal
KOTA Tomohon tak lagi sejuk. Penambangan liar dan penebangan hutan telah merusak kelestarian hutan serta keindahan kota yang dihuni oleh 87.719 jiwa ini. ”Dulu Kota Tomohon dikenal karena sejuknya tapi sekarang tidak lagi dan tinggal kenangan,” kata Martina Langi saat memberikan materi dalam Lokakarya LPDS dan Norwegia Embassy Senin (26/04/2016) di Hotel Novotel, Manado.
Martina mengungkapkan, kerusakan lingkungan di Kota Tomohon, Sulawesi Utara telah memicuh terjadinya perubahan iklim yang berdapak pada terhapuskan barrier atau penghalang antara dataran tinggi dan dataran rendah dalam hal habitat serangga seperti nyamuk Aedes aegypti, penyebab demam berdarah.
”Sebelumnya, kasus inkubasi nyamuk demam berdarah tidak pernah terjadi di Tomohon, tapi kini warga Tomohon harus waspada terhadap bahaya wabah penyakit yang mematikan ini,” tutur dosen Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Unsrat Manado dengan wajah kecewa.
Sejak tahun 2015 kasus Demam Berdarah (DBD) di Kota Tomohon sudah memprihatinkan, bahkan sudah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Buktinya, terdapat 20 kasus yang terindikasi positif DBD dan tersebar di 4 kecamatan. ” Memang jumlah penderita DBD di Kota Tomohon sudah menurun tahun 2016 ini , tapi kami tetap waspada karena adanya perubahan iklim yakni panas, hujan, panas, hujan. Cuaca seperti ini rawan memicu DBD,” kata Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial (Dinkessos) Kota Tomohon dr Isye Liuw.
Menurut data Dinas Kesehatan Sulut , Tahun 2015 terdapat 593 Kasus yang terdiri dari 488 Penderita dan 5 orang meninggal. Awal tahun 2016 terdapat 165 Kasus yang terdiri dari 164 Penderita dan 1 orang meninggal . ‘’Data ini terakumulasi dari 15 Kabupaten/Kota,memang menurun tetapi kita harus tetap waspadah,’’kata Kepala Dinas Kesehatan Sulut dr Jemmy Lampus.
Bahkan, seorang penderita demam berdarah yang meninggal dunia adalah politisi Partai Gerindra yang juga anggota DPRD Provinsi Sulut M Yusuf Hamim, beliau merupakan Politisi Partai Gerindra dapil Bolaang Mongondow.
Di Sulut, tak hanya kasus DBD yang menjadi ancaman. Curah hujan yang tak terkendali telah membuat sebuah sejarah pahit bagi daerah Nyiur Melambai ini. Awal tahun 2014, terdapat 80.000 jiwa menjadi korban dampak bencana di Sulawesi Utara (Sulut). 19 orang korban meninggal , 27 dirawat inap serius, 706 jiwa lainnya dirawat jalan dan 20.000 warga mengungsi. Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Sulut Rabu (15/01/2014) lalu membuat kerugian yang sangat besar.
‘’ Kerugian kita sebesar Rp 1,871 triliun. Banjir juga telah merusak rumah warga, kendaraan, fasilitas publik, jaringan air bersih, listrik dan saluran komunikasi,” ungkap Gubenur Sarundajang saat memberikan laporan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono saat itu.
Tahun 2015 juga warga Manado masih dihantui bencana banjir dan longsor. Awal tahun 2016 juga demikian. Bahkan satu orang meninggal karena tertimbun longsor di Batu Kota Kecamatan Malalayang. Manado. Bayang bayang bencana terasa didepan mata, apalagi jika cuaca ektrim dan curah hujan semakin tan menentu.
Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir lebih dari 11.000 kejadian bencana di Indonesia, dengan kerugian lebih dari 200 triliun rupiah dan sejumlah 193.000 orang meninggal dunia.
Perubahan iklim kini merupakan ancaman global atas bencana kemanusiaan dan bisa saja menjadi sejata pemusnah massal bagi peradaban manusia. ‘’ Perubahan iklim telah menjadi isu ancaman bagi Bumi dan peradaban manusia,’’ungkap Ica Wulansari saat memberikan materi di acara Workshop LPDS ‘Meliput Perubahan Iklim ‘di Manado.
Perubahan iklim dipengaruhi oleh pengrusakan hutan. Menurut data yang disampaikan Joula Palealu dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulut bahwa hutan sangat kritis di Sulut telah mencapai 23.785,68 hektare dan hutan kritis sejumlah 274.786,98 hektare. ” Untuk mengantisipasi hal ini tahun 2016 ini kami Dinas Kehutanan sementara melakukan program pengadaan dan penyaluran bibit sebanyak 108.000 bibit melalui Posko bibit di Kabupaten,” kata Joula.
Sementara itu, sebagai langkah antisipasi, Pemerintah RI telah melakukan integrasi kelembagaan untuk pengendalian perubahan iklim dengan membentuk Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim sesuai Perpres No. 16 tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Januari 2015.
Yulia Suryanti dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim RI mengatakan bahwa mitigasi merupakan usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber dan adaptasi perubahan iklim adalah suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak keragaman dan perubahan iklim serta melaksanakannya sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya.
Diungkapkan Yulia, pada 22 April 2016, Indonesia bersama 171 negara di dunia menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mewakili Presiden Joko Widodo. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global dalam menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara akan terlihat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) periode 2020-2030, juga aksi pra-2020.
Yulia, Joula, Ica dan Martina merupakan narasumber dalam Lokakarya Wartawan Meliput Perubahan Iklim di Hotel Novotel, Manado, 26-27 April 2016 yang diikuti oleh 30 Wartawan di Manado.(Jeane Rondonuwu)