
Pendidikan Karakter Penting dalam Merdeka Belajar
Oleh : Inggryani R.V Ulaen, S.Pd, M.Pd
Hal tersulit yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mempertahankan kemerdekaan tersebut. Sita Acetylena menyatakan bahwa “Meskipun kita telah menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat namun sebenarnya kita belum menjadi bangsa yang merdeka secara Lahir dan batin”.
TUJUH puluh tujuh (77) tahun sudah Indonesia merdeka untuk memperoleh predikat sebagai negara yang merdeka bukanlah hal yang mudah. Upaya yang dilakukan untuk merebut kemerdekaan membutuhkan perjuangan, pengorbanan, serta persatuan dan kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia.
Tanpa disadari kita masih berada pada masa penjajahan. Budaya kita dijajah, kebiasaan kita dijajah, dan gaya hidup kita dijajah oleh budaya asing yang berdampak pada perilaku generasi muda saat ini.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah semua kalangan khususnya anak muda untuk mendapatkan sumber atau acuan tentang gaya hidup ala kebarat-baratan, gaya hidup mewah (hedonisme), konsumtif dan segala yang berhubungan dengan merosotnya moral generasi bangsa saat ini yang justru hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi boomerang dalam kehidupan anak muda ketika hal tersebut disalah gunakan karena kurangnya pendidikan karakter terhadap generasi muda dalam hal ini peserta didik.
Pendidikan karakter sangat penting untuk mewujudkan kemerdekaan dalam bidang pendidikan sebab tidak ada gunanya jika kita hanya menjadi manusia yang terpelajar tapi tidak terdidik dan ini harus kita teruskan kepada peserta didik yang adalah generasi muda sebagai tulang punggung bangsa.
Sebelum merdeka pergerakan nasional Indonesia dilakukan dengan berbagai bentuk usaha salah satunya adalah pendidikan karakter, khususnya pendidikan karakter kebangsaan ala Ki Hadjar Dewantara yang berlandaskan pada spiritualisme, merupakan senjata yang digunakan untuk melawan imperialisme.
Setelah kemerdekaan, pendidikan karakter justru hilang jiwanya dalam sistem pendidikan nasional. Semua metafora yang menjadi wujud dari pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara, akhirnya menjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman oleh para guru Taman siswa pada waktu itu dan meluas sampai pada guru zaman sekarang.
Zaman semakin berkembang, segala kecanggihan teknologi telah ada dalam genggaman kita, semuanya menjadi mudah kita peroleh.
Jika tidak diatur dengan baik maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan karakter dan jiwa kita terlebih generasi muda atau peserta didik. Pendidikan karakter yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara yang seharusnya ditiru bahkan diterapkan dalam zaman sekarang ini.
Pendidikan karakter yang berlandaskan pada spiritualisme bukan hanya sekedar mematuhi norma agama, melainkan berbasis atau berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME).
Pemerintahpun telah berupaya membangun pendidikan karakter melalui naskah Kebijakan Pendidikan Karakter 2010, memiliki nilai-nilai yang hampir sama dengan pendidikan karakter menurut Ki Hadjar Dewantara, yaitu karakter bersumber dari olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa.
Selain itu pendidikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Hanya dalam kenyataan, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan masalah lain yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Beberapa masalah tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu membangun karakter bangsa. Praksis pendidikan yang terjadi di kelas-kelas tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghafal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah.
Sinawang dengan tajam menyatakan: “Kecenderungan yang muncul, pendidikan dipersempit menjadi “persekolahan” yang kemudian dipersempit lagi dengan “pengajaran”. Selanjutnya “pengajaran” dipersempit kembali dengan “pengajaran di ruang kelas” dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit ujian dalam bentuk tulisan.
Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki karakter utuh sebagai pribadi.
Apa yang salah dengan pendidikan sehingga setelah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter?
Untuk menerapkan Pendidikan karakter, membutuhkan agen pembahas atau guru yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang tulus serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME).
Dalam era globalisasi ini, sangat sulit mendapatkan agen pembahas yang tulus mengajar dan mendidik dengan cinta dan kasih sayang, apalagi dalam pribadi guru telah memiliki paham kapitalisme yaitu bahwa apa yang terjadi dalam perubahan sosial adalah dampak dari ekonomi dan teknologi, bukan dari proses belajar.
Sehingga melalui hal tersebut, guru hanyalah sekedar profesi. Jika semangat melaksanakan tugasnya bukan karena ketulusan melainkan karena materi, uang, popularitas dan kedudukan. Ki Hadjar Dewantara telah memberikan contoh dan teladan yang baik, beliau yang sebenarnya adalah keturunan bangsawan rela melepaskan gelar bangsawannya dan menjadi sama dengan masyarakat biasa, serta menjunjung tinggi persamaan derajat, hanya demi kemerdekaan lahir dan batin bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya dalam bidang Pendidikan.
Pekerjaan Yang Mulia
Tugas guru bukanlah hal yang muda, namun jika kita sadar bahwa tugas menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang mulia, maka segala pemahaman yang salah tidak akan muncul dalam pikiran seorang guru melainkan dengan ketulusan mendidik dan menjadikan peserta didik sebagai anak sendiri lewat perilaku guru dalam pembelajaran pastinya dia akan mencurahkan segala kemampuan yang ada pada dirinya untuk mencapai tujuan pembelajaran di kelas, misalnya persiapan mengajar dibuat sebaik mungkin, pendampingan peserta didik untuk kegiatan ekstrakurikuler dilakukan dengan tulus ikhlas, rela berkorban untuk anak didiknya, mengajar dengan sungguh-sungguh, demi kepentingan anak sanggup mengambil resiko, dan terutama memberikan pendidikan karakter kepada peserta didik dengan tekun.
Pendidik yang tulus juga harus:
- Dapat menempatkan dirinya sebagai teladan bagi siswanya. Teladan di sini bukan berarti bahwa guru harus menjadi manusia sempurna yang tidak pernah salah. Guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Tetapi guru harus berusaha menghindari perbuatan tercela yang akan menjatuhkan harga dirinya.
- Guru harus mengenal siswanya. Bukan saja mengenai kebutuhan, cara belajar dan gaya belajarnya saja. Akan tetapi, guru harus mengetahui sifat, bakat, dan minat masing-masing siswanya sebagai seorang pribadi yang berbeda satu sama lainnya.
- Guru harus mengatahui metode-metode penanaman nilai dan bagaimana menggunakan metode-metode tersebut sehingga berlangsung dengan efektif dan efisien, guru harus memiliki pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan Indonesia pada umumnya, sehingga memberikan arah dalam memberikan bimbingan kepada siswa.
- Guru harus memiliki pengetahuan yang luas tentang materi yang akan diajarkan. Selain itu guru harus selalu belajar untuk menambah pengetahuannya, baik pengetahuan tentang materi-materi ajar ataupun peningkatan keterampilan mengajarnya agar lebih profesional.
Untuk itu dalam mewujudkan merdeka belajar perlunya Pendidikan karakter lewat itu kita berhasil mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dari segi ilmu pengetahuan serta memiliki karakter yang unggul.
Penulis adalah pengajar/Guru di SMK Katolik St. Familia Tomohon