Ini Penjelasan Dokter Tentang Penghapusan 2 Obat Kanker Dari BPJS
MANADO, SULUTDAILY ||
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. James Allan Rarung,
Sp.OG, MM menjelaskan tentang 2 obat kanker yang tidak lagi akan di tanggung
dalam kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan.
Dikatakannya obat-obatan di dalam Formularium
Nasional (Fornas) merupakan panduan dalam hal pengadaan dan penggunaan untuk
tata laksana penyakit, itu intinya. Hal ini menjadi dasar bagi BPJS Kesehatan
untuk menanggung atau menjamin apabila faskes menggunakan obat-obatan tersebut.
Pertanyaannya adalah siapa yang membuat pilihan terapi pada suatu kasus
penyakit? Tentu saja seorang ataupun tim dokter yang ahli atas kondisi penyakit
tersebut. Dasarnya adalah keilmuan dan pengalaman yang mereka dapatkan
sepanjang hidup dan pekerjaan mereka sebagai dokter. Ini harus ditekankan. Lalu
siapa yang memakai obat ini, jelas adalah para pasien yang menderita penyakit
tertentu tersebut.
Secara khusus, apabila pilihan obat sebagai alat terapi di dalam Fornas
dihapus, maka tidak bisa lagi diresepkan kepada pasien peserta JKN/ BPJS
Kesehatan, karena tidak akan dijamin atau ditanggung lagi, kasarnya adalah
tidak akan dibayar penggantian saat klaim ke BPJS Kesehatan.
Apabila dokter tetap meresepkan, maka konsekwensinya adalah faskes/ RS yang
akan menanggung dan takkan ada penggantian klaim obat tersebut. Konsekwensi
berikutnya adalah pasien dengan terpaksa harus membeli dengan uangnya sendiri.
Memang alasan Kemkes mengeluarkan ataupun membatasi (restriksi) hanya pada
kelompok kanker yang lain, selain kanker kolorektal atau dengan kata lain tidak
ada atau tidak bisa lagi digunakan untuk kanker kolorektal, maka pilihan para
dokter akan berkurang atau makin lebih dibatasi. Padahal dalam sistem pelayanan
pada pasien JKN, tidaklah boleh ada pembatasan manfaat apabila masih memiliki
efek terapi.
Tentu saja bagi para dokter yang masih memiliki referensi atau rujukan ilmiah
yang kuat bahwa obat ini masih efektif dalam kondisi dan karakteristik
tertentu, akan terkekang independensi profesional dan keilmuannya. Tentu saja
bagi pasien, lebih “menakutkan” lagi, dimana mereka menjadi korban
atas suatu kebijakan yang seolah-olah mengenyampingkan sisi kemanusiaan demi
alasan sistem finansial ataupun efisiensi yang masih debatabel.
Kemkes harus segera mencabut kebijakan ini. Karena membatasi profesionalitas
kedokteran dan tentu saja memberikan efek merugikan pada pasien yang memiliki
hak terhadap akses pengobatan yang terstandar dan bermutu.
Segera evaluasi kembali dan jangan lupa melibatkan para dokter yang terlibat
langsung menangani penyakit ini. Jangan hanya melibatkan pihak lain yang justru
hampir tak pernah atau sama sekali tidak menghadapi langsung pasiennya. Karena
secara ilmiah tidak boleh mengambil keputusan hanya pada satu atau dua
penelitian saja, tetapi harus secara komprehensif dan ada pembanding penelitian
lain yang setara ataupun bahkan lebih baik lagi. (yr)