Penonaktifan Kader Partai Anggota DPR yang Blunder di Hadapan Publik: Antara Etika Politik dan Kepastian Hukum

Penonaktifan Kader Partai Anggota DPR yang Blunder di Hadapan Publik: Antara Etika Politik dan Kepastian Hukum

Penulis: FX. Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta

Kasus penonaktifan kader partai politik yang sekaligus menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena blunder pernyataan di hadapan publik kembali mencuat dalam dinamika politik Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan dilema antara kepentingan menjaga citra partai dengan jaminan kepastian hukum bagi seorang anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Pertanyaan penting yang muncul: sejauh mana partai berhak menonaktifkan kader yang duduk di DPR, dan apa implikasinya terhadap sistem perwakilan rakyat yang demokratis?

Secara hukum tata negara, anggota DPR memiliki kedudukan ganda. Di satu sisi, mereka adalah wakil rakyat yang memperoleh legitimasi dari pemilu. Di sisi lain, mereka adalah kader partai politik yang mengusungnya. Konstitusi (Pasal 22E UUD 1945) menegaskan bahwa pemilu dilakukan oleh partai politik, sehingga keberadaan anggota DPR tidak bisa dilepaskan dari garis partai. Karena itu, partai berhak memberikan sanksi organisasi, termasuk penonaktifan dari struktur internal. Namun, persoalan menjadi kompleks ketika sanksi itu bersinggungan dengan mandat konstitusional sebagai wakil rakyat.

Dari perspektif hukum administrasi, penonaktifan kader partai tidak serta-merta menghilangkan status keanggotaannya di DPR. Proses pemberhentian anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) sesuai UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Artinya, meskipun seorang anggota DPR dinonaktifkan dari keanggotaan partai, ia tetap sah sebagai anggota DPR sampai ada mekanisme PAW yang dijalankan. Inilah yang sering menimbulkan kebingungan publik: penonaktifan organisasi tidak otomatis berarti kehilangan kursi parlemen.

Fenomena blunder pernyataan di ruang publik juga perlu dilihat dari sisi kode etik anggota DPR. Pasal 81 UU MD3 menegaskan bahwa anggota DPR wajib menjaga kehormatan dan citra lembaga. Pernyataan yang dianggap melukai perasaan publik atau bertentangan dengan kepentingan umum bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etika. Dalam konteks ini, Badan Kehormatan DPR memiliki kewenangan untuk menilai dan memberikan sanksi, sehingga mekanisme pengawasan tidak hanya bersumber dari partai politik, tetapi juga dari lembaga internal DPR sendiri.

Meski begitu, langkah partai menonaktifkan kader bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab politik. Partai tidak ingin citranya tercoreng oleh pernyataan blunder yang viral di publik. Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi demokrasi. Apakah suara rakyat yang memilih anggota DPR bisa dikesampingkan begitu saja demi kepentingan citra partai? Apakah kedaulatan rakyat kalah oleh kepentingan politik pragmatis partai? Pertanyaan ini menggambarkan adanya ketegangan antara demokrasi representatif dan oligarki partai.

Di sisi lain, kasus semacam ini memberi pelajaran penting tentang tanggung jawab komunikasi publik pejabat negara. Anggota DPR tidak hanya berbicara sebagai pribadi, tetapi juga membawa identitas sebagai wakil rakyat sekaligus representasi partai. Karena itu, setiap kata dan sikapnya bisa berdampak luas, bahkan menimbulkan kegaduhan nasional. Penonaktifan dari partai mungkin bisa menjadi langkah taktis, tetapi ke depan diperlukan mekanisme pembinaan dan peningkatan kapasitas anggota DPR agar lebih cakap dalam komunikasi publik.

Penonaktifan kader partai anggota DPR yang melakukan blunder di hadapan publik adalah langkah politik yang sah dalam ranah organisasi, tetapi implikasinya dalam ranah hukum ketatanegaraan lebih kompleks. Anggota DPR tetap memiliki mandat konstitusional sampai ada mekanisme PAW. Negara hukum yang demokratis menuntut keseimbangan antara kewenangan partai, mekanisme etik DPR, dan kedaulatan rakyat. Jika keseimbangan ini tidak dijaga, maka demokrasi hanya akan menjadi alat partai politik, bukan ruang partisipasi rakyat.

CATEGORIES
TAGS
Share This