Pantau Edukasi 15 Jurnalis dan Aktivis Asal Indonesia Timur dengan ‘Narrative Journalism’
SULUTDAILY|| Tomohon – Sebanyak 15 peserta dari sejumlah daerah di Indonesia timur mengikuti kelas Narrative Journalism Tour (NJT) 2022 yang diadakan Yayasan Pantau bersama Universitas George Washington dan Kedutaan Amerika Serikat di Tomohon, Sulawesi Utara pada 7-11 November.
Peserta terdiri dari jurnalis, aktivis, dan minoritas penghayat kepercayaan, dari Manado, Kendari, Makasar, Maluku Utara hingga Papua. Di Tomohon kelas diampu oleh Janet Steele, guru besar di Universitas George Washington dan Andreas Harsono, pendiri Yayasan Pantau juga Peneliti Senior Human Rights Watch.
“Sebagai dua negara demokrasi terbesar dan paling dinamis di dunia, Amerika Serikat memiliki komitmen yang sama dengan Indonesia untuk melindungi kelompok-kelompok rentannya,” ujar Michael Quinlan, Juru Bicara dan Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Quinlan mengatakan Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia untuk menegakkan dan menggalakkan perlindungan bagi minoritas. Media memainkan peran penting dalam menyuarakan suara dan pandangan yang termarjinalisasi – dan pelaporan dengan jurnalisme yang baik dapat membentuk opini dan mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan.
“Untuk mencapai tujuan ini, kami bangga dapat bermitra dengan Yayasan Pantau, yang sangat memahami kebutuhan di lapangan. Kami juga senang bekerja sama dengan Universitas George Washington, untuk berbagi tentang praktik terbaik jurnalisme dari perspektif AS,” ujarnya.
Quinlan berharap akan membaca karya jurnalistik yang menarik hasilkan pelatihan ini, dan kisah-kisah ini akan menginspirasi yang lain untuk melakukan yang sama,” ujarnya.
Janet Steele, guru besar di Universitas George Washington mengapresiasi kelas Narrative Journalism Tour (NJT) 2022 di Tomohon. ” Saya senang kelas ini sangat aktif dan mengerjakan tugas dengan baik,” kata Janet.
Pendiri dan penasihat Yayasan Pantau, Andreas Harsono mengatakan Tomohon adalah tempat khusus dalam sejarah Minahasa, maupun Indonesia, baik karena ia adalah tempat pergolakan kalangan Kristen, maupun gereja berbagai suku di Indonesia, sekaligus kesulitan dalam mengelola perbedaan dalam Gereja Masehi Injili di Minahasa.
“Tomohon menunjukkan bahwa liputan agama dan kepercayaan, dari Kristen sampai Islam, dari Parmalim sampai Kejawen, adalah kerja sangat penting yang harus dimengerti mereka yang belajar jurnalisme,” kata Andreas.
Di Tomohon, Yayasan Pantau bekerja sama dengan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Denni Pinontoan, Direktur PUKKAT menilai kelas narasi ini sangat baik sekali untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan menulis yang lebih dalam dan memikat.
Di era banjir informasi ini, kata Denni, butuh kemampuan yang lebih untuk memberitakan fakta secara menarik.
“PUKKAT sangat beruntung karena boleh dilibatkan untuk program NJT bersama Embassy of the United States (Jakarta-Indonesia) – Institute for Public Diplomacy & Global Communication – The George Washington University dan Yayasan Pantau,” kata Denni.
Seperti diketahui, Yayasan Pantau telah memulai kelas-kelas Jurnalisme Narasi maupun Jurnalisme Sastrawi, sejak 2001. Materi dalam kelas ini mengikuti gerakan Tom Wolfe yang menggabungkan disiplin jurnalisme, riset dan daya pikat sastra.
Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan serta diskusi terbatas.
Misi Amerika Serikat bermitra dengan Indonesia untuk mempererat ikatan antara masyarakat dan pemerintah kedua negara untuk mempromosikan dan melindungi demokrasi, keamanan, dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat AS dan Indonesia, kawasan, dan dunia.
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) adalah organisasi masyarakat sipil non profit yang berdiri pada 29 September 2013. Kegiatan PUKKAT banyak bermitra dengan organisasi masyarakat sipil lain dan sejumlah perguruan tinggi si Sulawesi Utara maupun di Indonesia dalam isu feminisme, jurnalisme, multikulturalisme dan kebudayaan. (**)