Wabah Stunting, Mari Cegah Bersama

Wabah Stunting, Mari Cegah Bersama

Penulis: Ferren Christine Kastilon, Mahasiswa aktif Fakultas Keperawatan Unika De La Salle Manado

SAAT ini stunting menjadi suatu pembicaraan hangat dikalangan ibu-ibu. Pasalnya wabah stunting mulai mengancam anak-anak di Indonesia pada era 2018-2020 ini.

Hal ini dikarenakan hasil riset terbaru 2018 dari WHO yang menunjukan angka stunting terbesar salah satu berada di Indonesia, khususnya lagi di Bolaang Mangondow Timur atau yang biasa disingkat dengan Boltim.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan stunting? Menurut WHO, stunting adalah kondisi gagal tumbuh. Ini bisa dialami oleh anak-anak yang mendapatkan gizi buruk, terkena infeksi berulang, dan stimulasi psikososialnya tidak memadai.
Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen. Dan pada 2018 Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesdas) menunjukkan, 30,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Dan angka tersebut jelas jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20 persen.

Maka dari itu, WHO menjadikan stunting sebagai fokus Global Nutrition Targets untuk 2025, juga Sustainable Development Goals untuk 2030.
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama.

Hal ini terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi, dan juga dipengaruhi oleh perilaku dan pola asuh orangtua terhadap anak. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

Lantas kita menjadi bertanya-tanya, apakah semua anak dengan perawakan pendek dan bertubuh kurus bisa langsung dikatakan stunting? Jelas tidak. Tidak semua anak yang berperawakan lebih pendek mengalami stunting. Stunting merupakan keadaan tubuh yang sangat pendek dilihat dari standar baku pengukuran tinggi badan menurut usia berdasarkan standar WHO.

Menurut Kemenkes RI, balita pendek atau stunting bisa diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran di bawah normal.

Ciri-ciri anak disebut stunting antara lain: pertumbuhan melambat, wajah tampak lebih muda dari anak seusianya, pertumbuhan gigi terlambat, performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya, pubertas terlambat, usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, dan tidak banyak melakukan kontak mata terhadap orang di sekitarnya.

Setelah mempelajari berbagai hal mengenai stunting, akhirnya tidak lengkap bagi kita untuk tidak mempelajari tentang cara pencegahan atau penanganan stunting.

Hal-hal yang dapat kita lakukan bersama untuk menurunkan angka stunting di Indonesia, yakni:

  1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil merupakan tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter atau bidan.
  2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan. Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.
  3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat. Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat akan menentukan produk tambahan tersebut. Konsultasikan dulu dengan dokter.
  4. Terus memantau tumbuh kembang anak. Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Bawa si kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya.
  5. Selalu jaga kebersihan lingkungan.
    Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.

Demikianlah hal serta ilmu yang dapat saya sampaikan dan bagi dengan pembaca sekalian, semoga informasi ini membantu para pembaca khususnya ibu-ibu untuk mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan anak. Serta membantu Indonesia untuk menurunkan angka stunting ke presentase yang sesuai dengan standar WHO.(**)

CATEGORIES
TAGS
Share This