
Tahun 2017, Swapar Sulut Tangani 59 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
SULUTDAILY|| Manado- Swara Parangpuan Sulut dalam Rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan TerhadapPerempuan (25 November – 10 Desember) merilis data Layanan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan tahun 2017.
Swara Parangpuan merupakan satu dari 112 lembaga pengada layanan terhadap perempuan korban kekerasan yang ada di Indonesia dan tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, adalah Jaringan lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Saat ini keanggotaan FPL tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Sejak tahun 2000, Forum Pengada Layanan (FPL) bersama-sama dengan Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya dalam membangun mekanisme bersama untuk penghapusan kekerasan terhadap Perempuan melalui; penguatan lembaga dalam memberikan dukungan terhadap perempuan korban kekerasan, mengembangkan model layanan bagi perempuan korban kekerasan, melakukan pendokumentasian pengalaman perempuan korban dan lembaga layanan, mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan instrumen hukum nasional maupun daerah dalam rangka pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.
Dalam Rangka Peringatan awal kampanye dari 16 hari anti kekerasan, Swapar menyampaikan gambaran kasus-kasus yang telah didampingi oleh Swara Parangpuan.
Jumlah kasus yang ditangani sebesar 59 kasus, yang terdiri atas perkosaan (15 kasus), Pelecehan (8 kasus), Eksploitasi seksual (1 kasus), Kekerasan fisik (14 kasus), psikis (12 kasus), Penelantaran (9 kasus).
Data sebaran ini bisa terbaca dalam prosentase sebesar; pemerkosaan (25%), Pelecehan (14%), Ekspolitasi seksual (2%), Kekerasan fisik( 24%), Psikis (12%), Penelantaran (15%).
Lokus ( tempat kejadian) kekerasan sebanyak 40 kasus terjadi dalam rumah tangga atau sebesar 68%, rana public sebesar 18 kasus atau sebesar 31%, Lain-lain 1 kasus atau sebesar 2%.
Usia korban yang dilayani oleh Swara Parangpuan terdiri atas; usia di bawah 5 tahun sebanyak 3 orang (5%), 6-12 tahun sebanyak 8 orang (14%), 13 -18 tahun sebanyak 17 orang (13%), 19- 24 tahun sebanyak 5 orang (9%), 25-40 tahun sebanyak 15 orang (27%) diatas 40 tahun sebanyak 8 orang (14 %).
Dari data tersebut terlihat bahwa anak (13-18 tahun) berada pada peringkat kedua tertinggi yang nmengalami kekerasan. Pada tingkat pertama terjadi pada perempuan usia (19 – 40 tahun) dari data ini jelas terlihat bahwa baik anak maupun perempuan keduanya rentan mengalami kekerasan dari pihak lain yang pada umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang dekat dengan korban.
Usia Pelaku
Dari 59 kasus terdapat 58 pelaku yang dapat dijabarkan sebagai berikut; usia pelaku kekerasan terhadap perempuan dimuali pada usia 13- 18 tahun sebanyak 2 orang (3%), usia 19-24 tahun sebanyak 5 orang (9%), usia 25 – 40 tahun sebesar 23 orang (40%), dan diatas 40 tahun sebanyak 18 orang (31%) dan sisanya sebanyak 10 orang tidak diketahui usianya (17%).
Pelaku yang tertinggi dalam kekerasan terhadap perempuan pada usia pelaku antara 25 – 40 tahun yang pada umumnya memiliki hubungan kedekatan hubungan dekat dengan korban. Hasil analisis lebih dalam lagi pelaku meiliki hubungan suami istri sebanyak 21 orang (36%), pacar sebanyak 9 orang (16 %), tetanggga sebanyak 6 0rang (10%) dan sisanya tersebarpada orang tua, kakakipar, kakek, sepupu, paman, guru dan warga sekampung rata-rata sebesar 2 orang (3%).
“Dengan maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Sulut baik yang sudah tertangani oleh Swara Parangpuan maupun yang belum tertangani, serta masih banyaknya kasus-kasus yang belum terungkap dikarenakan terbatasnya bukti serta masih ada keengganan dari korban maupun keluarga dalam melaporkan berbagai kasus kekerasan terhadap perepuan maka, kami dari Swapar Sulut menyampaikan keprihatinan dan mendesak semua pihak untuk memberikan perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual ,” rilis Swapar.
Menurut Swapat harus disadari bahwa untuk setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa setiap bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, bentuk diskriminasi gender, dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus;
“Bahwa korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan, anak dan kelompok rentan lainnyakarenarelasi gender yang timpang, harus mendapat perlindungan dari negara agar tidak terjadi keberulangan dan terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual,” tulis Swapar.
Bentuk dan kuantitas kasus kekerasan seksual semakin meningkat dan berkembang, namun sistem hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual.
” Kami juga mendesak agar Pemerintah dan DPR RI segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban. Dan mendorong pemerintah daerah untuk turut mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk perlindungan untuk korban,” demikian rilis yang ditandatangani
Nurhayati Suratinoyo,Penanggungjawab Kampanye 16 HKTP 2017 Sulut dan Nurhasanah Penanggungjawab Media Gathering.(Jr/*)