Memutuskan Mata Rantai GengRAPE di Indonesia (3/selesai)

Memutuskan Mata Rantai GengRAPE di Indonesia (3/selesai)

Catatan Kritis Komisi Nasional Perlindungan Anak 2016
Memahami Fenomena Gerombolan Pemerkosa (gengRAPE) di Indonesia)

Laporan Sonny Thios, Jakarta

laporan Sonny Thios, Jakarta

laporan Sonny Thios, Jakarta

Guna melakukan upaya penanganan agar terhindar dari kemelut masalah ini, kita perlu memikirkan langkah-langkah seperlunya yang perlu ditentukan dan ditindaklanjuti. Tentu saja kita harus mulai dengan mencari latar belakang yang bagaimanakah yang menyebabkan terjadinya “gang rape” atau “pemerkosa bergerombol” ini.

Kita harus memahami berbagai masalah menyangkut kehidupan social setempat.Kemungkinan besar masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, pengaruh globalisasi, sistem politik, bahkan pemahaman keagamaan, serta kemajuan teknologi berada di balik masalah ini.

Jika benar demikian, maka masalah-masalah tersebut perlu didalami lagi sejauh mana pengaruhnya dalam pembinaan anak-anak kita mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan social, dan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah. Ingat misalnya apa yang disinyalir seorang sosiolog terkemuka bernama Peter Berger. Katanya, dunia ekonomi adalah wilayah yang sudah dibebaskan dari agama.

Kita bisa melihat kenyataan di sekitar kita. Apakah hari-hari beribadah menjadi dambaan setiap warga masyarakat sehingga jika tiba waktunya, semua tempat ibadah penuh sesak.Kita juga dapat mengobservasi maraknya pengunjung mal-mal, tempat-tempat rekreasi, pantai-pantai, dan sebagainya justru pada hari-hari yang semestinya warga tekun beribadah.Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa masalah-masalah tadi merupakan pemacu melemahnya ikatan-ikatan lama yang secara tradisi menjanjikan kemapanan social dan kenyamanan individual.

Selain itu, kita juga perlu mewaspadai serangkaian pemicu yang memercepat keberlangsungan melaten melonggarnya ikatan-ikatan social diakibatkan oleh berbagai belitan masalah.

Kemiskinan dapat dianggap sebagai factor utama yang bertanggung jawab melatenkan berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran norma-norma social.Tiadanya pendidikan budi pekerti barangkali perlu diwaspadai karena terlihat kecenderungan tingkah laku etis di kalangan anak didik di berbagai jenjang pendidikan.

Selain kepenganutan agama, pemahaman budaya termasuk adat istiadat para leluhur yang semakin dimarginalkan mungkin sekali turut bertanggung jawab meningkatnya kejahatan.Setiap anak di lingkungan kita memerlukan “tokoh idola” yang dulunya muncul dari kalangan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan sebagainya.Pembentukan jati diri dan kepribadian yang utuh sering membutuhkan semacam rujukan seperti itu.Kita juga masih galau dalam menerapkan pendidikan seksual di semua lini.

Sementara itu, gelombang besar arus informasi mengalir masuk ke rumah-rumah kita, merasuk dan merusak anak-anak yang orang tuanya tidak paham atau menyadari perlunya anak-anak mereka dibimbing dalam memahami dan memanfaatkan arus informasi dan “keajaiban” teknologi dari hari ke hari.

Lalu tiba-tiba kita dikejutkan oleh tingkah laku anak-anak kita yang ternyata telah mampu meniru apa yang mereka tonton, membentuk kelompok eksklusif berupa peer group rahasia di sekolah-sekolah, memanjakan yang tanpa disadari telah menyuburkan sifat dan sikap individualistis, sampai menyekolahkan anak-anak kita pada berbagai jenis dan jenjang yang semakin memperkuat egositas dan eksklusivitas.

Tanpa tuntunan etika, budi pekerti, didikan moral, kualitas pengawasan langsung orang tua, kepribadian anak-anak dapat tumbuh semakin kokoh, tidak di atas landasan ideal yang dikehendaki, melainkan berpijak pada dasar kepribadian yang goyah dan rapuh karena tanpa muatan nilai-nilai luhur keadatan, keagamaan, keetikaan.

Jika sudah sampai sejauh itu, maka hanya dibutuhkan semacam pemantik bagi seorang individu yang menuju kematangan itu untuk menjadi pribadi yang asocial, egosentris, introvert, dan tanpa kendali apa-apa telah terhanyut dan terdampar pada subkultur yang eksklusif, nyeleneh, suka menerabas, semau gue, bahkan dapat berlanjut menjadi konsumen narkoba dan langganan tontonan terlarang. Pintu kini terbuka lebar untuk menjadi anggota “gang rape” bagi anak laki-laki, “cabe-cabean” bagi anak gadis imut, dan segudang istilah lain.

Dari tayangan televisi dan kemajuan teknologi informasi, anak-anak kita mampu menciptakan “dunia yang lain”, lengkap dengan kode isyarat, bahasa gaul, prokem, dan sebagainya. Dari sanalah antara lain telah berjatuhan korban-korban kekerasan terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.

pemacu,pemicu dan pemantik

pemacu,pemicu dan pemantik

Sama sekali belum terlambat “menyelamatkan” situasi, kondisi, system, dan anak-anak kita sendiri dari kemelut yang meremukkan peradaban. Dengan memahami apa-apa yang menjadi pemacu, secepat apa anak-anak kita terdampak pemicu, dan sedahsyat apa akibat terpapar unsur-unsur pemantik, dapat dipastikan kita mampu memberikan sumbangan signifikan bagi kelangsungan hidup bangsa dan Negara kita. Harus berupaya sekuat tenaga menyelamatkan generasi penerus yang terancam hebat akibat terror gerombolan-gerombolan pemerkosa yang tidak berperikemanusiaan itu.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) guna memertegas tekad bersama melindungi anak-anak Indonesia seluruhnya. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disusul UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan penyempurnaan UU sebelumnya, dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016, semuanya tidak akan berarti tanpa tekad bersama mengawalnya.

Belum semua rakyat Indonesia komit dengan upaya perlindungan anak demi menjamin agar anak-anak Indonesia dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus terus terjaga dari semua rongrongan para predator, pemangsa, pedofil, trafiker anak, yang hanya ingin merusak warisan berharga masa depan ini.

Komisi Nasional Perlindungan Anak bersama-sama dengan Lembaga Perlindungan Anak pada setiap Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan/Desa/Kelurahan merupakan barisan tak terbendung melawan para penjahat yang mau menginjak-injak hak asasi anak sebagai bagian utuh tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia.(***/Selesai)

TAGS
Share This