Memutuskan Mata Rantai GengRAPE di Indonesia (2)
Catatan Kritis Komisi Nasional Perlindungan Anak 2016, Memahami Fenomena Gerombolan Pemerkosa (gengRAPE) di Indonesia)
Laporan Sonny Thios, Jakarta
UPAYA pendekatan, pemahaman dan pemecahan masalah menyangkut pemerkosaan bergerombol ini bukanlah masalah sederhana.Perlu diupayakan penanganannya dengan menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kejahatan sebagai gejala sosial, termasuk di dalamnya kenakalan remaja, dengan demikian perlu dicermati dan dicarikan upaya penanggulangan.
Dari sudut etika sosial, para remaja yang secara berkelompok melakukan perkosaan itu telah melakukan kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh.Menjadi kewajiban kita untuk mengetahui asal mula dan penyebabnya agar akibat-akibatnya dapat ditanggulangi.
Kartini Kartono (2006) mengatakan bahwa penyakit masyarakat atau penyakit sosial adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat istiadat, hukum formal, yang tidak bisa diintegrasikan ke dalam pola tingkah laku umum (Kandowangko, 2012). Pemerkosaan bergerombol dari satu sisi dapat dikategorikan sebagai penyakit masyarakat jika itu dianggap sebagai indikator bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan sosial dewasa ini.
Hal itu menjadi sangat serius jika ternyata sebagian besar gerombol pemerkosa tersebut di atas adalah anak laki-laki remaja.Mereka tidak saja melanggar norma-norma umum dan adat istiadat yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat etnik setempat, tetapi juga hukum positif yang berlaku.Adat sopan santun dan berbagai tata tertib keagamaan mereka terabas begitu saja.
Seorang pakar berupaya memberikan gambaran mental kepribadian negatif seorang individu dalam pergaulan kemasyarakatan, yang terbentuk dari beberapa faktor.Dikatakannya bahwa seseorang yang kurang memeroleh siraman rohani menyebabkan bangkitnya sifat-sifat negatif yang dapat berujung pada perbuatan kriminal. Selain itu, jika seseorang sudah dibekali dengan ilmu di bangku sekolahnya maka sebelum melakukan sesuatu ia akan berpikir panjang. Bila seseorang berada dalam lingkungan yang kurang baik, maka situasi itu dapat berpengaruh kuat pada mentalnya.
Pergaulan yang salah juga sering turut membentuk kepribadian seseorang.Dan yang tidak kalah kuat pengaruhnya adalah ketika seseorang berada dalam kesulitan ekonomi yang dapat membentuk mental yang tidak baik. Uraian itu mengingatkan kita bahwa (1) faktor agama, (2) faktor pendidikan, (3) faktor lingkungan, (4) faktor pergaulan, dan (5) faktor ekonomi dapat membentuk mental yang jelek dalam diri seorang individu (J.E. Sahetapy, 1983).
Dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor lain namun jika apa yang disampaikan di atas berlaku pada seorang anak laki-laki sejak kecilnya, maka dapat dipastikan kelak setelah dewasa yang bersangkutan akan cepat mencari ‘teman seideologi’ yang jika jumlah semakin banyak, terbentuklah apa yang disebut “gang”.
Semakin besar jumlah anggota gang dapat menyebabkan semakin meningkatnya solidaritas di kalangan mereka sendiri, dan sejalan dengan itu kadar agresivitas juga meningkat tajam. Jika impuls-impuls maskulin pubersitas mereka menguat maka tanpa pertimbangan apa-apa mereka terdorong melakukan “kekerasan seksual” secara berkelompok terhadap target terjangkau.
Dengan mengambil lokasi penelitian di kalangan pemuda pusat kota Johannesburg, Republik Afrika Selatan, sebuah sumber lain mengatakan bahwa “boys gang-rape for each other, in a kind of frenzied machismo, to prove themselves, to show off, to be part of a gang . . . In acting together, the group develops a common sense of masculinity and power, which may reduce their inhibitions as well as diminish individual feelings of responsibility.” (L. Vetten & S. Haffejee, 2005).Sebagai sebuah kelompok eksklusif mereka mampu melebur keindividualan masing-masing sambil mengusung kebanggaan kelompok gang sendiri yang diyakini maskulin dan merasa penuh kuasa.
Apa yang disajikan terurai di atas dapat dipergunakan untuk memahami rangkaian peristiwa kekerasan seksual secara berkelompok yang disebut “gang rape” atau “pemerkosa bergerombol” tersebut.
Para pemerkosa itu berasal dari berbagai latar belakang.Ada pamong desa yang turut terlibat, beberapa petani subsisten, pengusaha warung, sopir, bahkan polisi dan kepala sekolah.Beberapa sopir juga tidak menyia-nyiakan kesempatan memangsa anak-anak sekolah, demikian juga yang dilakukan oleh sesama anak sekolah teman korban.Yang terhitung kerap melakukan perkosaan bergerombol adalah para pemuda pengangguran. Namun yang tercatat paling banyak adalah yang para tersangkanya masih tergolong anak sekolah dan remaja.
Data laporan yang dihimpun oleh Divisi Pengaduan Komnas Anak, antara tahun 2015-2016 adalah sebagaimana dalam tabel berikut.
Status Sosial Pemerkosa Bergerombol (Gang Rape)
Periode 2015-2016
Status Jumlah Kasus
Remaja/Pemuda 25
Tetangga/Sahabat Keluarga 2
Sopir 2
Pengusaha Kecil (Warung) 1
Guru/Kepala Sekolah 2
Oknum Polisi/Karyawan 2
7. Warga Desa 1
Adapun umur korban dan umur pelaku sama-sama amat bervariasi. Anak korban ada yang masih berumur 2 tahun 8 bulan, seorang berumur 4 tahun, seorang berumur 5 tahun, dua orang berumur 6 tahun, dan masing-masing seorang yang berumur 7 dan 9 tahun. Untuk umur yang 10 tahun ke atas, terdapat tiga orang berumur 12 tahun, empat orang berumur 13 tahun, tiga orang anak berumur 14 tahun, lima anak berumur 15 tahun, tiga anak yang berumur 16 tahun, serta dua anak perempuan yang berumur 17 tahun.
Umur para pelaku kekerasan seksual anak juga amat variatif.Yang termuda adalah dua anak laki-laki masing-masing berumur 3 dan 4 tahun, disusul seorang anak berumur 5 tahun, seorang anak berumur 9 tahun, dua anak yang berumur 11 tahun, masing-masing dua anak laki-laki berumur 12 dan 13 tahun, masing-masing empat anak laki-laki yang berumur 14, 15, 16, dan 17 tahun. Para pelaku dewasa (di atas 17 tahun) masing-masing berumur 19, 20, 21, 32, 38, dan 40 tahun.Bahkan ada dua orang yang berusia 60 tahun, serta masing-masing satu orang berumur 70 dan 78 tahun.
Mengingat sungguh bervariasinya latar belakang dan umur para pelaku kejahatan seksual terhadap anak maka jika merujuk pada pendapat A.J. Reiss Jr kita harus mengevaluasi kembali keefektifan kontrol sosial di kalangan masyarakat, mulai dari kota-kota hingga ke desa-desa.
Menurut pakar ini, ada tiga komponen control social yang perlu diwaspadai dalam menelaah kenakalan remaja, yakni: (1) kurangnya control social yang wajar selama masa kanak-kanak; (2) hilangnya control tersebut; dan (3) tidak adanya norma-norma social atau justru terjadi konflik di antara norma-norma tersebut, baik di kalangan intern keluarga, di sekolah-sekolah, bahkan di lingkungan social.
Selain itu, Reiss juga membedakan adanya dua macam control social yaitu “personal control” dan “social control”.Personal control atau “internal control” adalah kemampuan seseorang menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar hukum, sedangkan social control atau “external control” adalah kemampuan kelompok social untuk melaksanakan norma-norma hukum secara efektif.
Dengan menggunakan pendapat dan konsep tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaku “gang rape” atau “pemerkosa bergerombol”, baik sendiri-sendiri maupun dalam ikatan kelompoknya, mengabaikan apa yang disebut personal control (internal control) maupun social control (external control). Pengabaian tersebut menggiring mereka pada pilihan melakukan kejahatan dengan mengesampingkan “rasa bersalah”, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Secara sosiologis, individu-individu yang membentuk “gang rape” tersebut, sadar atau tidak telah menentukan diri dan kelompoknya diperhadapkan dengan kehadiran individu dan kelompok lain. Yang termasuk dalam kelompok mereka anggap “in group” sementara di luar mereka adalah “out group”.
Sejalan dengan semakin banyaknya jumlah anggota, semakin lamanya mereka dalam kelompok, diperkuat dengan “kesamaan nasib” sebagai sesama pengangguran yang perlu pelampiasan keintiman seperti halnya warga masyarakat normal, maka kekompakan itu perlu diwujudnyatakan atau dilampiaskan dengan melakukan apa yang terpendam sebagai “basic instinct”.
Akan tetapi, bagaimanapun juga naluri manusiawi mereka masih ada.Mereka masih tetap memiliki kemauan untuk diperhatikan, memiliki keinginan untuk dimengerti, dan yang tidak kalah pentingnya adalah masih memiliki rasa takut.Secepat mereka “menimbulkan” korban, secepat itu pula rasa takut itu muncul dan menghantui.Hal ini dibuktikan dengan upaya melarikan diri sejauh-jauhnya, baik dari lokasi tempat kejahatan dilakukan (TKP) maupun dari lingkungan social yang dianggap sekarang semuanya memusuhi mereka.(***/Bersambung)