Memutuskan Mata Rantai ‘GengRAPE’ di Indonesia (1)

Catatan Kritis Komisi Nasional Perlindungan Anak 2016 Memahami Fenomena ‘Gerombolan Pemerkosa’ (gengRAPE) di Indonesia
Laporan Sonny Thios , Jakarta

laporan Sonny Thios, Jakarta

laporan Sonny Thios, Jakarta

Dewasa ini kita semua dikejutkan dengan berita dan laporan dari berbagai media dan sumber-sumber lain menyangkut peristiwa kejahatan seksual yang menimpa anak-anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menanggapi dengan serius dan prihatin dan mulai menghimpun-himpun data tentang terjadinya gejala “perkosaan berkelompok” terutama sejak awal 2015.

Laporan demi laporan yang masuk ke Divisi Pengaduan Komnas Anak menunjukkan gejala semakin meningkatkan perkosaan yang dilakukan sekelompok laki-laki terhadap anak perempuan. Komnas Anak segera memanfaatkan jejaring yang melibatkan stakeholders yang peduli anak, termasuk aparat kepolisian.

” Ternyata selain data yang terhimpun pada Komnas Perlindungan Anak, beberapa lembaga peduli anak dan perempuan termasuk pihak kepolisian juga memiliki data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Himpunan data ditambah dengan semakin seringnya laporan yang masuk dari berbagai daerah, mulai dari perkotaan hingga perdesaan, membuat Komnas Anak berasumsi sedang terjadinya gejala mengerikan yang di Negara lain lazim disebut “gang rape”, pemerkosaan bergerombol, pemerkosaan berkelompok, atau istilah lain yang relevan dengan hal itu itu (Lisa Vetten & Sadiyya Haffejee, 2005; juga Kristy, 2007),” tulis Komnas Perlindungan Anak dalam Press Konference  usai acara di Hotel Ibis Jakarta Jumat (17/06/2016).

Menurut Ketua Umum Dewan Komisioner  Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait bahwa dari himpunan data Komnas Anak, ternyata telah terjadi setidaknya hampir 40 kasus pemerkosaan bergerombol dalam bentang temporal April 2015 sampai Mei 2016, belum terhitung data yang dimiliki oleh sekian banyak stakeholders peduli anak di berbagai provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

” Yang lebih mengejutkan, 90% pelakunya adalah “anak remaja laki-laki” dengan korban 100% anak remaja perempuan, bahkan anak perempuan yang masih kecil (di bawah 10 tahun). Para pelaku melakukan pemerkosaan pada umumnya setelah menenggak minuman keras (miras). Korban juga ada yang dipaksa meminum miras sebelum diperkosa. Dan, oleh karena rangkaian pemerkosaan ini dapat dikatakan terjadi hampir merata di seluruh Indonesia, maka Komnas Anak berkesimpulan telah terjadi situasi yang amat berbahaya bagi anak-anak perempuan, situasi yang kemudian dikemas sebagai ‘Darurat Kekerasan Seksual Anak’,” kata Sirait didampingi Komisioner Pusat Data dan Informasi Komnas PA Drs. Fendy Parengkuan

Peristiwa-peristiwa perkosaan itu terjadi mulai dari lingkungan yang akrab dengan korban seperti di rumah sendiri atau di rumah tetangga. Selain itu, tercatat juga di tempat-tempat lain seperti di gudang, rumah teman, tempat kos, bahkan di rumah pelakunya.

Kejadian seperti itu juga berlangsung di dalam kendaraan angkutan umum (angkot), di lapangan sepak bola atau di alun-alun, di pinggiran desa, di kebun, di sawah, bahkan di areal perhutani dan perkebunan karet.Juga terjadi di rumah kosong, gubuk, termasuk di hotel.

Dengan kata lain, pemerkosaan tidak saja terjadi di lingkungan rumah tinggal korban, tetapi juga di berbagai tempat lain bahkan dalam kompleks atau lingkungan sekolah, suatu tempat yang semestinya aman bagi anak-anak kita.(*/bersambung)

TAGS
Share This