Ketika Para Dokter Mogok Layani Pasien
Aksi Keprihatinan untuk dr Ayu Sasiary Prawani-
SULUT DAILY|| Manado- Suasana haru menghiasi Rutan Malendeng Manado Senin (18/11/2013), delapan ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulut berkumpul membuat sebuah lingkaran dan berdoa untuk sahabat mereka dr Ayu Sasiary Prawani. Dokter Ayupun keluar dengan mata berkaca kaca melambaikan tangannya sambil berucap dengan rasa haru ‘’terima kasih teman-teman” . “Jika hari ini tidak di bebaskan, seluruh dokter di Sulut tidak akan melayani pasien selama tiga hari, tapi tidak semua yang mogok. Setiap pasien yang dirawat darurat tetap dilayani” tukas Dokter Nurdadi Saleh, selaku Ketua Umum Obstetri dan Genekologi Indonesia
Para dokter sejak pagi sudah berkumpul Kampus Kedokteran di Malalayang menuju ke gedung DPRD Sulut kemudian ke Kantor Gubernur Sulut pindah ke depan Gedung Kejati Sulut dan selesai di Rutan Malendeng Manado.
Menurut dr Jemy Waleleng, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulut bahwa profesi dokter adalah profesi yang unik karena berurusan dengan hidup dan mati. Oleh karena itu, tidak mudah menjadi seorang dokter. Profesi dokter pun dibatasi oleh aturan ada atau etika kedokteran.
Dirinya mengakui dokter tidak kebal hukum, namun menurutnya pada persoalan tersebut, ada yang janggal. Diungkapkannya, penanganan sewaktu Fransiska Makatey yang merupakan perawat gigi, meninggal karena emboli udara. Penyakit tersebut susah diprediksi. “Kasus emboli udara adalah kasus yang sulit dicegah dan diduga. Ketika udara masuk pembuluh darah besar. Namun, dokter selalu berusaha menyelesaikan persalinan sebaiknya,” ucapnya. Dia pun menegaskan bahwa pada saat pasien sudah gawat, maka sudah seharusnya dokter mengambil tindakan cepat atau Cito.
Namun ternyata dari informasi keluarga bahwa korban saat itu diketahui sudah pecah ketuban sejak pukul 07.00 pagi dan baru dilakukan penanganan sekitar pukul 22.00 Wita. Penangananya pun terlambat karena korban belum melunasi biaya administrasi. Bahkan keluarga korban pun melakukan negosiasi berupa menggadaikan kalung emas. ‘’ dokter tidak ada sangkut paut dengan persoalan biaya karena persoalan tersebut yang mengurusnya adalah bagian administrasi RSUP Prof Kandou,’’kata Waleleng
Senada dengan itu, dr Taufik Pasiak mengatakanbahwa dirinya memang sempat mendengar hal itu. Kata dia, memang ada negosiasi namun dilakukan oleh perawat bukan oleh dr Ayu atau dua dokter masing-masing Hendi Siagian dan Hendry Simanjuntak yang saat ini masuk dalam Daftar Pencarian Orang atau DPO.
Diungkapkannya ketika dokter tersebut pun saat itu masih belajar atau sedang mengambil spesialis. Dari ketiga dokter tersebut dokter Ayu yang paling senior. Untuk mengambil spesialis pun ada beberapa jenjang untuk menangani pasien langsung. ‘’ Pada persoalan ini, sebenarnya bukan merupakan malpraktik dan juga bukan kelalaian dokter. Korban terkena emboli udara penyakitnya sulit diprediksi,’’kata Waki Ketua IDI Sulut ini.
Sementara itu, penangkapan dr Ayu Sasiary Prawani mendapat tanggapan dari Yulin Mahengkeng. Ibu dari Julia Fransiska Makatey yang meninggal saat operasi Cito Sectio Caesaria pada April tahun 2010. Yulin mengungkapkan kejadian sebenarnya sehingga pihak keluarga melaporkan hal tersebut ke polisi.
Kejadian itu berawal pada tanggal 9 April 2010. Anaknya ketika itu masuk Puskesmas di Bahu. Kemudian keesokannya 10 April sekitar pukul 04.00 Wita, anaknya mengalami pecah air ketuban dengan pembukaan 8 hingga 9 Centi Meter (cm). Karena Fransiska sebelumnya mempunyai riwayat melahirkan anak pertama dengan cara divakum maka dokter Puskemas merujuk ke RSUP Prof Kandou dan tiba pada pukul 07.00 Wita untuk dioperasi. “Maka kami bawa ke RS Malalayang,” ucapnya.
Pukul 08.00 pasien masuk di ruangan Irdo dan di rawat oleh dokter Gomer. Di situ setelah diperiksa ternyata mengalami penurunan menjadi 5 hingga 6 cm. Setelah itu, sekitar 09.00 Wita, pasien diarahkan ke ruang bersalin. Di ruang persalinan, pembukaan justru menurun menjadi 2 hingga 3 cm. “Padahal seharusnya bukan turun malah naik. Kesimpulan kami dari keluarga mereka terkesan mengulur waktu untuk menunggu persalinan normal padahal anak saya harus dioperasi karena air ketuban sudah pecah,” terangnya.
Pembiaran terhadap pasien pun terjadi hingga pukul 22.00 Wita. Dan pada jam segitu, melihat kondisi anaknya sudah tidak berdaya maka para dokter yang merawat yakni dokter Ayu dan dua orang rekannya baru mengambil tindakan sendiri melakukan operasi sehingga surat persetujuan operasi ditanda tangani sendiri oleh para dokter itu. “Jam delapan malam anak saya di arahkan ke ruang oprasi. Kami keluarga beberapa kali bolak balik disuruh oleh dokter membeli obat di apotek, bahkan terjadi tawar menawar karna saat itu kami keluarga belum cukup biaya membeli obat, bahkan sudah menjamin kalung emas untuk meyakinkn para dokter dan perawat di situ uang masih dalam perjalanan, tapi tidak dihiraukan,” katanya.
“Mereka pun bilang kalau nda ada uang operasi akan di tunda. Kami tetap memohon dan akhirnya diterima dan bersamaan adik kami yang bawa uang tiba,” ungkapnya lagi. Setelah uang ada, sekitar pukul 22.15 Wita, bayi keluar dan dibawa oleh dokter dan setelah ditanya tentang ibunya dijawab oleh dokter bahwa keadaanya sehat.
Tidak lama lama para dokter kemudian mengatakan pada keluarga dari Fransiska. bahwa anaknya sudah meninggal dunia. Dikatakannya, dokter itu tidak salah jika saat dibawa sudah dalam keadaan berat atau kritis. ”Cito terjadi di rumah sakit atas perbuatan sendiri dari dokter yang ada di rumah sakit yang membiarkan anak kami Siska dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam. Bayangkan saja penderitaan anak kami yang menderita selama selama 15 jam nanti sudah berat tidak berdaya baru diambil tindakan kedokteran, sampai anak kami meninggal dunia,” tuturnya sambil menangis mengingat kejadian tersebut.
Persoalan ini pun sudah terbukti di persidangan dan terungkap dalam sidang bahwa dokter Mallo yang mengeluarkan visum otopsi sudah jelas Siska meninggal karena masuk emboli udara karena terlambat ganti Infus. Yang mengherankan para dokter tidak mengetahui kalau siapa yang ganti infus selama observasi. “Itu semua karena kelaian para dokter yaitu faktor pembiaran begitu lama. Sehingga sampai-sampai pergantian infus satu dokter pun tidak tau. Jadi kami keluarga tekankan disini bahwa bukan meninggal karna emboli air ketuban tetapi Siska meninggal karena emboli udara. Ini fakta yang terungkap dalam persidangan,” ungkapnya.
Yulin pun sempat kesal saat sidang di Pengadilan Negeri Manado yang memutuskan tiga terdakwa bebas. Dia pun sempat menangis dan jatuh pingsan. Namun, dirinya pun tak patah arang. Yulin kemudian meminta kepada Jaksa untuk melakukan kasasi di MA. “Tibalah saatnya mereka akan menangis semua sudah tertulis dalam Alkitab Pengkhobah pasal 3 yang mengatakan ada waktu menangis dan ada waktu tertawa,” tandasnya. Akhirnya di MK ketiga dokter diputus bersalah dan harus menjalani kurungan penjara selama 10 bulan.
Warga Sulutpun ikut prihatin kerena aksi mogok yang dlakukan oleh para dokter ini. ” wah bisa bahaya…kalau para dokter mogok melayani pasien, ”ujar Ibu Anne, warga Malalayang. Pdt Fanny Potabuga dalam pesan media sosialnya menyesalkan jika ada ancaman dari para dokter untuk melakukan aksi mogok. ” Ini akan menimbulkan ketakutan warga. Mari doakan para dokter kita,”kata Potabuga. (JbR)