‘Herd Immunity’ dan Konsekuensi Logis pada Penderita Covid-19

‘Herd Immunity’ dan Konsekuensi Logis pada Penderita Covid-19

Penulis, Dr. Ricky C. Sondakh, M.Kes Dosen FKM Unsrat Manado

BEBERAPA waktu lalu Presiden R.I Bpk Joko widodo mengatakan bahwa kita harus “berdamai” dengan Covid-19. Sebagai seorang akademisi di bidang kesehatan saya menduga ada keinginan dari pemerintah untuk menerapkan apa yang disebut “Herd Immunity”.

Istilah ini bukan sesuatu yang baru di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya di bidang Epidemiologi karena Istilah ini sudah dikenal sejak tahun 1923. “Herd Immunity” menurut Paul Fine, Ken Eames, David Heymann, dalam sebuah artikel yang berjudul “Herd Immunity”; A Rough Guide dalam Clinical Infectious Diseases, Volume 52, Issue 7, 1 April 2011, Pages 911–916, Istilah “kekebalan kelompok atau kawanan” banyak digunakan tetapi memiliki berbagai pengertian.

Beberapa penulis menggunakannya untuk menggambarkan proporsi kekebalan di antara individu dalam suatu populasi/penduduk. Yang lain menggunakannya dengan mengacu pada ambang batas tertentu dari individu yang kebal yang mengarah pada terjadinya penurunan orang yang terinfeksi pada suatu populasi. Ada juga yang menggunakannya untuk merujuk pada pola kekebalan yang terbentuk yang dapat melindungi populasi/penduduk dari terjadinya infeksi baru.

Implikasi umum dari istilah ini adalah bahwa risiko infeksi di antara individu yang rentan dalam suatu populasi berkurang oleh keberadaan dan kedekatan individu yang telah imun/kebal (ini kadang-kadang disebut sebagai “perlindungan tidak langsung” atau “efek kawanan”).

Gordis L. dalam Epidemiologi E-Book tahun 2013, mengemukakan bahwa Herd Immunity adalah suatu bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap infeksi, baik melalui mereka yang terinfeksi sebelumnya dan telah sembuh atau karena vaksinasi, sehingga individu yang tidak kebal ikut terlindungi.

Semakin besar proporsi individu yang kebal dalam suatu populasi, semakin kecil kemungkinan individu yang tidak kebal akan bersentuhan dengan individu yang terinfeksi. Hal ini akan membantu melindungi individu yang tidak kebal dari infeksi.

Para ahli Epidemiologi memperkirakan bahwa untuk menghentikan penyebaran penyakit Covid-19 ini membutuhkan 40-70% individu dalam suatu populasi yang Imun atau kebal.

Dari perspektif pengertian Herd Immunity ada beberapa hal yang menjadi prasyarat boleh tidaknya diterapkan pada populasi/penduduk suatu negara atau wilayah adalah harus sudah tersedia Vaksin.

Ahli biostatistik dari University of Florida Natalie Dean yang memperoleh gelar Ph.D dari Harvard University mengatakan satu-satunya cara aman mendapatkan Herd Immunity adalah dengan Vaksin.

Sementara itu cara lain seperti membiarkan dengan sengaja suatu populasi tertular untuk mendapatkan kekebalan terlalu berisiko. SARS Cov-2 ini adalah virus yang belum banyak diketahui dan untuk membuat vaksinnya dibutuhkan kurang lebih 18 bulan dan itupun berbeda untuk setiap strain dari virus tersebut.

Di Indonesia berbeda dari tiga tipe utama yang diketahui beredar di dunia. Hal ini diketahui setelah peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman melakukan whole genome sequencing (WGS) alias analisis genetik pada tiga sampel virus dari pasien positif.

Menteri Riset dan Teknologi / Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan perbedaan tipe ini terjadi karena virus Corona bermutasi.

Informasi dari Pusat Data Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), ada tiga tipe COVID-19 yang ada di dunia. Ada tipe S, tipe G, dan tipe V. Di luar tiga tipe itu, ada yang disebut sebagai tipe lain yang belum teridentifikasi dan ternyata whole genome sequences yang dikirim Indonesia ke GISAID termasuk kategori yang lainnya artinya berbeda dari tiga tipe yang beredar di dunia saat ini.

Oleh karena itu pemikiran atau upaya melakukan Herd Immunity tidak boleh atau tidak tepat dilakukan disaat belum adanya vaksin dan masih bermutasinya SARS Cov-2 ini apalagi Health care System Capacity atau kapasitas sistem kesehatan kita belum memadai karena belum merata, sampai ketersediaan APD yang masih minim. Dengan membuat banyak orang terinfeksi, kemungkinan meningkatnya angka kematian juga tinggi.

Misalnya kita mengambil 70 persen dari total populasi untuk sengaja diinfeksi. Dari jumlah tersebut tidak semuanya berusia muda. Ada juga orang tua atau orang dengan komorbid atau mengidap penyakit degeneratif seperti diabetes, ginjal, jantung, Ca dll.

Mereka-mereka ini masuk dalam golongan yang rentan. Jika kasus kematian akibat Covid-19 0,5-1 % maka dari 70 persen populasi itu ada 0,35-0,7 persen akan mati. Pilihan yang paling rasional saat ini untuk memutus rantai penularan Covid-19 adalah dengan melakukan Social distancing dengan menjaga jarak secara fisik, menghindari kerumunan/keramaian, membatasi migrasi/pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain karena salah satu ciri penyebaran Covid-19 ini adalah mengikuti pola migrasi penduduk sampai curvanya menjadi datar.

Semoga pemerintah tidak ceroboh melakukan pelonggaran social distancing dengan membuka akses pergerakan/migrasi penduduk melalui transportasi baik udara, laut dan darat agar jangan sampai malahan terjadi peningkatan tajam orang yang terinfeksi yang akan membuat sistem pelayanan kita over capacity atau kelebihan beban sehingga tingkat mortalitas atau kematian meningkat.

Jika pandemi Covid-19 ini ditangani secara salah maka bukannya akan terjadi Herd Immunity tetapi kurva infeksi akan naik seperti yang terjadi di Italia dan Amerika serta beberapa negara eropa lainnya yang kelabakan menangani pasien/penderita Covid-19, bukan karena ketidakmampuan dalam teknologi kesehatan/kedokteran tetapi karena ketidak mampuan menangani secara serentak ribuan bahkan ratusan ribu orang yang terinfeksi dalam waktu yang bersamaan.

Kita semua berharap dalam istilah Epidemiologi terjadi “flattening the curve” atau “perataan kurva” atau perlambatan penyebaran virus sehingga sedikit orang yang perlu mendapatkan pengobatan pada jangka waktu tertentu. Hal ini sangat jelas mengapa begitu banyak negara menerapkan pedoman Social distancing atau “jarak sosial”.(***)

CATEGORIES
Share This