FPL : DPR Harusnya Mempertimbangkan Kerentanan Perempuan yang Mengalami Kekerasan Seksual

FPL : DPR Harusnya Mempertimbangkan Kerentanan Perempuan yang Mengalami Kekerasan Seksual

Urgensi Pembahasan Ruu Tpks Yang Melindungi Korban

SULUTDAILY||Jakarta – Sepanjang tahun 2021, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) telah melalui perjalanan yang sangat panjang dan mengalami tarik ulur. Sejak Agustus 2021 ini, RUU berubah nama menjadi Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam proses pembahasan di Prolegnas Prioritas 2021.Walau ada beberapa kemajuan dalam perluasan unsur dan definisi pada lima (5) bentuk kekerasan seksual, namun poin yang tidak diakomodir DPR RI juga banyak.

Pada 8 Desember 2021, Rapat Badan Legislasi DPR RI menghasilkan kesepakatan bahwa 7 Fraksi DPR RI yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui Draf RUU TPKS sebagai inisiatif DPR RI untuk dilanjutkan dalam Paripurna. FPL mengapresiasi kerja Baleg DPR RI, walaupun masih ada dua Fraksi yang menyetujui dengan catatan.

Draf RUU TPKS tanggal 8 Desember 2021 terdapat kemajuan dengan diaturnya kembali pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual dengan menggunakan transmisi elektronik, eksploitasi seksual oleh korporasi, hak korban juga keluarga dan perluasan alat bukti.

Namun, Forum Pengada Layanan/ FPL berpandangan masih terdapat kemunduran mulai dari menimbang, lalu dalam pasal asas memasukkan iman dan takwa, hukum acara yang tidak mencerminkan kekhususan dari kasus kekerasan seksual, menyeragamkan kewajiban lembaga layanan pemerintah dan masyarakat, memangkas 5 bentuk-bentuk kekerasan seksual dari 11 bentuk kekerasan seksual, mulai dari menghilangkan pasal perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual, juga belum mempertimbangkan kerentanan kelompok perempuan yang mengalami kekerasan seksual seperti perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan yang dilacurkan dan korban aborsi paksa dimana ada yang sampai bunuh diri.

Enam (6) elemen kunci menjadi jantung dalam pengaturan RUU TPKS. Ketiadaan beberapa elemen menjadikan RUU ini tidak seperti yang dicita-citakan. Tarik ulur substansi dalam Proses pembahasan mencerminkan kapasitas DPR RI dalam memahami esensi RUU TPKS masih lemah. Maka hingga sekarang di penghujung tahun 2021, RUU TPKS tidak kunjung disahkan .

Untuk itu Forum Pengada Layanan/FPL yang di wakili Nurhasanah dari Yayasan Swara Parangpuan mengajak Masyarakat untuk tetap mengawal proses pembahasan, agar fraksi-fraksi di DPR RI mampu mewakili suara masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual dan pendamping korban. Maka dengan ini Forum Pengada Layanan/ FPL mendesak:

  1. DPR memastikan RUU TPKS tidak menggantung lama dan proses pembahasan hingga pengesahan harus dilakukan.
  2. DPRRI melakukan perbaikan substansi yang mengakomodir kerentanan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan seperti Perempuan dengan HIV/ AIDS, perempuan korban pelacuran paksa, perempuan pedesaan dan perempuan korban di kepulauan.
  3. DPR RI untuk mengakomodir  5 bentuk Kekerasan seksual, mulai dari Perkosaan, Pemaksaan Aborsi, Pelacuran Paksa, Perbudakan seksual dan Pemaksaan perkawinan sebagai Bentuk kekerasan seksual, perlindungan untuk pendamping korban, memperbaiki hukum acara dan system layanan agar semakin berpihak terhadap korban kekerasan seksual.
  4. Mendesak Pemerintah untuk menyiapkan Daftar Infentaris Masalah (DIM) yang komprehensif dan mendukung pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual
  5. FPL mengajak media, masyarakat, keluarga korban dan pendamping untuk terus mendesak DPR RI melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang mengakomodir kebutuhan korban dan pendamping.

Rilis media ini untuk merespon hasil Rapat Badan Legislasi DPR RI, dengan dilaksanakan diskusi daring dari Forum Pengada Layanan dengan para narasumber terdiri dari:

  1. Ayu Oktariani è Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Jakarta
  2. Retno Ekareti Permatasari è Yayasan Embun Pelangi, Batam
  3. Melsia Huliselan è Gasira, Maluku
  4. Yunri Kolimon è Sanggar Suara Perempuan (SSP) Soe-NTT
  5. Nur Laila Hafidhoh, M.Pd è Dir. LRC-KJHAM, Semarang
  6. Adelia è Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

Diskusi ini di pandu oleh Luviana Pemimpin Redaksi Konde.co (*/stb)

CATEGORIES
Share This