Dilema Para Aktivis Perempuan Saat Mendampingi Korban

Laporan : Jeane Rondonuwu

Catatan  Diskusi kerjasama  FJPI-BP3A Sulut ‘’Dilema Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Sulut’’(1).

Menangani dan mendampingi kasus kekerasan seksual sangat rumit. Butuh ketulusan, keseriusan dan pengorbanan. Ketika menghadapi kondisi dilema, para aktivis peduli perempuan dan anak sepakat untuk tetap tegar dan tidak pernah akan berhenti berjuang. Sambil meyakini bahwa masih ada harapan bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan hukum di negeri ini.

‘’Itu penjahat. Itu ser jahat. Saya takut..!’’ cerita Jull Takaliuang mengutip ungkapan ketakutan korban kasus Sekolah Dian Harapan yang menangis histeris  ketika penyidik  melakukan ‘passing kontrol ‘ untuk tes kebohongan. Dimana si anak sebagai korban diperhadapkan dengan pelaku melalui ruangan kaca.

Menurut Ketua Komda Anak Sulut ini, proses penyidikan seperti ini sangat menyakitkan, namun sebagai pendamping kami tidak bisa menolak dan hanya berusaha menguatkan hati para orang tua terutama anak-anak yang menjadi korban.

Dilema Para Aktivis Perempuan Saat Mendampingi Korban

Dilema Para Aktivis Perempuan Saat Mendampingi Korban

Lebih menyakitkan lagi, beberapa waktu kemudian proses ‘passing kontrol ‘ini oleh Kejaksaan minta diulang . ‘’ Saya saja sudah tidak mampu melihat kondisi ini. Sangat luar biasa menimbulkan kegalauan, apa lagi bagi si anak sebagai korban. Tapi harus bagaimana? Proses tersebut harus dilakukan meski harus dipaksakan. Ini adalah sebuah dilema yang menyakitkan. Kami ingin kasus ini bisa dibuktikan agar pelakunya dihukum  tetapi  kami juga harus menyelamatkan anak dari trauma yang sangat mendalam,’’ ungkap Jull.

Senada dengan hal tersebut, Nur Hasanah dari Swara Parangpuan Sulut menyatakan bahwa kebijakan hukum yang mengatur terkait kekerasan seksual masih belum berpihak kepada korban . ‘’ Perspektif aparat penegak hukum sering bias gender dan tidak berpihak terhadap korban,’’ kata Nur.

Selain itu, belum  adanya jaminan keselamatan oleh negara bagi para aktivis perempuan yang mendampingi korban. Sementara aktivis perempuan sangat rentan mendapatkan perlakuan kekerasan juga karena mendampingi korban. ‘’Tidak seperti jurnalis yang memiliki UU yang melindungi keselamatannya dalam melakukan pekerjaan. Jurnalis memiliki UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ,’’ ujar Nur.

Bagi Swara Parangpuan Sulut, ini adalah sebuah dilema. ‘’ Namun kami tetap membantu mendampingi meski kapasitas SDM masih terbatas. Hingga September 2016 kami telah  mendampingi 58 kasus. Kami berusaha mendampingi korban karena memang sudah komitmen,’’ cerita Nur.

Ketua FJPI Sulut Jeane RondonuwuDiskusi kerjasama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia ( FJPI) Sulut-Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Sulut  bertajuk ‘Dilema Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Sulut’ yang digelar di ruang rapat BP3A Sulut  kian alot. Ruang curhat dan sharing kian hangat terasa dipandu moderator Ketua IJTI Sulut Amanda Komaling, wartawan Metro TV.

Amanda kemudian memberikan kesepatan kepada saya  sebagai Ketua FJPI Sulut  untuk menceritakan pengalaman apa yang menjadi dilema sebagai jurnalis ketika diperhadapkan dengan kasus kekerasan seksual .

‘’ Saya merasa kadang tidak profesional dalam menjalankan tugas sebagai jurnalis, terkait dengan penulisan berita soal korban kekerasan seksual perempuan dan anak. Penyebabnya,  sejak menjadi jurnalis tahun 1998, saya sudah akrab dengan kerja-kerja aktivis perempuan . Harus di akui saya tidak mampu menulis berita tentang korban karena saya takut tulisan saya nanti, justru akan menimbulkan double korban untuk korban kekerasan seksual,’’ cerita Jeane.

Dikatakan Jeane, sebagian besar berita yang menulis tentang korban justru merugikan karena sering terjadi memang foto korban di tutup mukanya (blur) tetapi alamat rumah, nama sekolah, atau foto (gambar) orang tua ikutan dipubliksikan.

‘’ Menulis berita tentang korban merupakan dilema bagi saya secara pribadi dan saya memilih tidak menulis tentang korban,’’ aku Jeane yang berharap juga para pengacara yang ditugaskan mendampingi korban juga demikian. ‘’ Saya kira jurnalis dan pengacara tidak beda. Jadi pengacara P2TP2A juga harus memilih membela korban, seperti apapun korban tersebut,’’ kata Jeane.

‘’Dilema Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di SulutTerkait dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Kepala BP3A Sulut Ir Erny Tumundo menilai bahwa kerja Unit Pelayanan Perempuan dan anak (PPA) di Polda sudah baik . Unit PPA ini bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. ‘’ Tapi sayang, ketika personil unit ini lagi serius menangani suatu kasus, oleh pimpinan dipindahtugaskan,’’ kata Tumundo yang Januari- September 2016 telah menangani 108 kasus melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Dr. Meiske Liando, S.Pd., M.Pd. mengakui begitu banyak dilema yang dialami oleh para aktivis perempuan dan anak dan pilihan yang diambil kadang menyakitkan. ‘’ Memang menjadi relawan dan aktivis perempuan dan anak membutuhkan keberanian, ketulusan dan pengorbanan. Banyaknya kasus kekerasan seksual di Sulawesi Utara tentu membutuhkan penanganan yang serius dan diperlukan banyak relawan untuk melakukan pendampingan,’’ kata Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Unima ini.

Kepala BP3A Sulut Ir Erni Tumundo, Akademisi Dr. Meiske Liando, S.Pd., M.Pd, Ketua FJPI Sulut Jeane Rondonuwu, Nur Hasanah dari Swara Parangpuan Sulut dan Ketua Komda Anak Sulut Jull Takaliuang adalah narasumber dalam diskusi yang digagas FJPI dan BP3A yang digelar Senin (10/10/2016) di rangkaikan dengan Hut ke 3 FJPI Sulut. (*/Bersambung)

TAGS
Share This