Manusia Gagal Menjalankan Mandat Allah, Krisis Ekologis jadi Refleksi Dies Natalis ke 58 PIKI
SULUTDAILYII Bitung- Krisis ekologis semakin parah dan berdampak buruk terhadap eksistensi dan masadepan alam sebagai rumah bersama (oikos) bagi manusia dan segenap mahluk. Dalam konteks Indonesia berbagai data dan peristiwa menunjuk pada kegentingan kerusakan ekologis.
‘’Kerusakan hutan mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim yang telah yang berlangsung lama dan berpengaruh langsung pada kehidupan manusia dan ekosistem alam’’, kata Pdt Dr Margie Ririhena-de Wanna saat study meeting Dies Natalis ke 58 Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) secara virtual dari Aula SHS, Kantor Wali Kota Bitung, Sulawesi Utara Sabtu (18/12/2021)
Data statistik lingkungan hidup Indonesia Tahun 2019 mencatat bahwa suhu rata-rata udara di permukaan tanah Indonesia meningkat 0,5 derajad Celsius dan akan mengalami peningkatan 0,8 –1,0 derajad Celsius dalam sepanjang tiga puluh tahun ke depan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Indonesia Tahun 2019 berpredikat Cukup Baik (skor: 66,55) yang menunjukan penurunan dari tahun sebelumnya berskor 71,67.
Kecenderungan penurunan predikat IKLH ini mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia sudah cukup darurat. Kerusakan ekologi dirasakan bukan hanya di Indonesia bagian barat tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia termasuk bagian tengah dan timur.
‘’Tiap wilayah dapat memotret bagaimana perjuangan masyarakatmembebaskan hutan dan tanah juga laut mereka dari cengkeraman perusahan-perusahan besar yang mendapatkan HPH secara mudah dan melakukan eksploitasi lingkungan secara massif,’’ujarnya.
Kegawatan kerusakan alam dan kengerian akibat-akibatnya telah memicukemunculan frasa ekosida (ecocide) yang terus diarus utamakan di dalam literatur dan gerakan advokasi lingkungan hidup. Ekosida dikedepankanuntuk menunjuk kepada tindakan manusia merusak dan membunuh lingkungan alam yang mengakibatkan hilangnya ekosistem.
‘’Polly Higgins, seorang advokat lingkungan hidup Internasional, bahkan telah mengajukanusul kepada PBB untuk memasukan dan mengakui ekosida sebagai kejahatan ke-lima terhadap perdamaian ,’’ ujarnya.
Krisis ekologis multi dimensional menunjukan bahwa manusia yang diberi mandat oleh Allah sebagai‘pengusaha dan pemelihara’ alam dan seluruh ciptaan (Kejadian 1 dan 2) ternyata tidak memenuhi tugas dan tanggungjawabnya tersebut. Sebaliknya, Manusia telah menjadi aktor-aktor utama penyebab krisis lingkungan hidup melalui apa yang disebut sebagai intervensi agensif manusia. Intervensi agensif manusia merupakan kapasitas dari tindakan-tindakan manusia yang menghasilkan dampak-dampak buruk atau bermanfaat terhadap lingkungan hidup.
Intervensi agensif-manusia tersebut dipengaruhi oleh paling tidak tiga aspek-keruangan, yakni etika, pengetahuan, dan ekonomi-politik. Pengalaman pembangunan di Indonesia di beberapa tempat masih menunjukkan secara eksplisit bahwa yang menjadi titik tolak pembangunan adalah relasi atas bawah (subyek-obyek). Relasi ini sungguh tidak memberikan penghargaan kepada eksistensi lingkungan dengan segala kekhasan dan kepelbagaiannya. Relasi yang demikian ini sungguh memandang lingkungan hidup hanya sejauh berguna bagi kehidupan manusia.
Pdt Dr Margie menjelaskan terdapat tiga relasi manusia dan alam yang berkembang yaitu antroposentrisme yang menggambarkan superioritas manusia. Biosentrisme: superioritas spesies (living and non living) dan ekosentrisme: menekankan bahwa human, dan non human memiliki posisi yang setara dan berkeadilan (ecological justice).
Komisi teologi dan ekumenisme DPP PIKI mencatat bahwa dua aktor utama dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak pro kepada lingkungan. . Aktor pertama adalah pemerintah. Kekuatan yang berada di balik kebijakan pembangunan yang tidak pro lingkungan. Karena itu Pemerintah lokal dan nasional adalah yang paling bertanggung jawab atas hasil-hasil negatif dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini.
Aktor kedua adalah Gereja. Terdapat pandangan teologi dan sikap gereja-gereja yang memandang lingkungan hidup hanya sebagai objek yang lebih rendah dari manusia. Pandangan antroposentris dan biosentris sebagai warisan dari pekabaran injil para zending yang telah turut menyumbang bagi kerusakan alam di Indonesia.
‘’Teks Alkitab sering dipakai untuk melegitimasi pengrusakan udara, hutan-hutan, gunung, sungai bahkan laut keramat atas nama injil. sejarah zending di Indonesia umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan, hal ini didasarkan pada prinsip bahwa semua bentuk penyembahan agama suku dengan semua media dan fasilitasnya (hutan, pohon, air), dipandang kafir, bertentangandengan Allah, dan karena itu harus dimusnahkan,’’ ungkap Pdt Dr Margie yang juga Ketua Bidang Teologi dan Ekumenisme DPP PIKI.
Dalam webinar Perspektif Ekoteologi sebagai refleksi Teologis PIKI ini memberikan simpulan dan rekomendasi yakni:
Pertama, Pemerintah perlu menegaskan dan memperjelas ulang peta kondisi real dan isu-isu utama krisis ekologis global dan Indonesia dengan tindakan preventif yang segera dilakukan demi menyelamatkan Indonesia. Eksploitasi bumi membuat manusia dan makhluk-makhluk non[1]manusia terancam eksistensinya di bumi.
Kedua, PIKI dan Lembaga-lembaga agama perlu mengambil posisi bersama masyarakat berjuang mempertahankan lingkungan sekaligus tanah dati (hak milik) masyarakat. Bahwa potensi kerusakan ekologi berimplikasi langsung pada penghancuran kehidupan semua makhluk yang hidup di alam termasuk penghancuran integritas kemanusiaan dan alam. Karena itu perlu dilakukan advokasi untuk menghindarkan masyarakat dari potensi diadu domba oleh pihak yang menggerus laut, hutan dan tanah masyarakat.
Ketiga, terdapat degradasi, objektifikasi dan komersialisasi ciptaan Tuhan. Orang-orang yang paling kehidupan generasi yang akan datang. Karena itu kepedulian dan perlindungan bagi mereka yang rentan bahkan alam yang menjerit dala.m keheningan harus dinyatakan sebagai ukuran kemanusiaan kita.
Keempat, Membangun eco-theology dalam konteks Indonesia dipahami sebagai “panggilan dan tanggapan teologis, etis, dan praksis gereja dan orang Kristen terhadap krisis ekologis.” Rumusan ini menegaskan beberapa hal mendasar, yakni eco-theology merupakan panggilan (The Calling) Allah yang mengingatkan kita untuk berkomitmen penuh pada tanggungjawab penciptaan yang Allah mandatkan kepada kita sebagai mandataris, pengelola dan perawat kehidupan dan segenap ciptaan.
Tanggapan terhadap krisis ekologis adalah ungkapan nyata dari iman kepada Allah yang telah memanggil kita sebagai mandatarisNya dalam dunia; tanggapan iman ini tidak hanya berupa rumusan-rumusan teologis, tetapi mengerucut pada bangunan etika, yaitu tata nilai kristiani yang menjadi pemandu moralitas bersama (collective-social morality) serta bermuara di dalam praksis, yaitu tindakan-tindakan nyata dalam ragam bentuk eklesiologis, liturgis, kebijakan, gerakan danaktifitas;
Pengembangan model praksis eco-theology (theological eco-praxis) yang berlangsung dengan pendekatan dan metode yang berlangsung dalam gerak dialetika-spiralistik: praksis-refleksi-praksis[1]refleksi. Model eco-theology praksis ini membawa teologi dan etik Kristen kepada penelusuran ke dalam, pengakuan dan dialog kritis-konstruktif dengan ragam local eco-theologies and traditions.(Jr/*)