
Pelayanan Pastoral Holistik Ancangan Integrasi Teologi dan Psikologi
Penulis, Jeane Rondonuwu, Mahasiswa Pasca Sarjana STA Ginosko
PELAYANAN pastoral holistik yakni koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian) dan diakonia (pelayanan) adalah tugas utama gereja dalam mewujudkan keselamatan dan merupakan solusi dalam pertumbuhan Iman jemaat yang berkomitmen. Integrasi Teologi dan Phsikologi menjadi sebuah konsep dan metode yang dianggap berpengaruh dalam pelayanan pastoral yang holistik menuju gereja yang sehat dan bertumbuh.
Yesus Kristus dan karyaNya sebagai ‘Pastoral Sejati’ atau ‘Gembala yang baik ‘ telah menjadi teladan bagi pastoral gereja melalui perkataanNya dalam Yohanes 10: 1-21
Ia berkata : ‘’Akulah gembala yang baik.
Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.
Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.
Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.
Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali.
Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.
Maka timbullah pula pertentangan di antara orang-orang Yahudi karena perkataan itu. Banyak di antara mereka berkata:
“Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?
Yang lain berkata: “Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?
Gambaran tentang Allah sebagai Gembala sebenarnya sudah ada sejak Perjanjian Lama. Dia menuntun umat-Nya keluar dari Mesir (Kel. 15:13) dan dari Pembuangan di Babel (Mzm. 44:12-24).
Kemudian dalam Mazmur 23, Tuhan digambarkan seperti seorang gembala menjaga domba-dombanya, Allah juga menjaga anak-anak-Nya. “..membaringkan aku di padang yang berumput hijau… membimbing aku ke air yang tenang… menuntun aku di jalan yang benar….”
Tafsiran Mattew Hendry tentang Injil Yohanes 10 mengungkapkan orang benar diibaratkan sebagai kawanan domba gembalaanNya. Gereja adalah kandang domba, tempat berkumpulnua anak-anak Allah yang sebelumnya tercerai-berai (Yoh 10:11). Kandang ini dilindungi dengan baik, sebab Allah sendiri bagaikan tembol berapi di sekelilingnya (Za 2:5). Dia adalah pintu penghalang yang merintangi pencuri dan perampok. Pintu harus ditutup untuk alasan keamanan. Tetapi Dia juga adalah pintu yang terbuka, sehingga anak-anak Tuhan bisa masuk dan bergabung. Melalui Kristus, Allah melawat gerejaNya. Kristus adalah pintu bagi umat yang dipilih masuk dalam Kerajaan Surga. Dia adalah gembala yang baik dan bukan sekedar gembala upahan. [1]
Wiliam Macdonald menjelaskan, kandang domba adalah tanah berpagar dengan satu ruang terbuka yang digunakan sebagai pintu, dimana domba-domba berlindung dimalam hari. Willian menafsirkan kandang domba menyatakan bangsa Yahudi. Banyak yang datang kepada bangsa ini dan mengaku sebagai mesias untuk Israel. Orang orang ini bukanlah gembala yang sejati tetapi para pencuri dan perampok. William menggambarkan orang Farisi adalah pencuri dan perampok. Mereka menghalangi bangsa Israel menerima mesias, menganiaya orang-orang yang mengikuti Yesus dan akhirnya hendak membunuh Yesus. Yesus menyatakan diri sebagai gembala yang sejati dan menyerahkan nyawaNya untuk para domba-dombaNya.
‘’ Ketika darah dari korban harus mengalir
Gembala ini oleh belas kasihan dituntun
Untuk berdiri diantara kita dan si musuh,
Dan dengan relah mati ganti kita ‘’ demikian William mengutip Thomas Kelly. [2]
Yesus menjalani kematiannya dengan sukarela. Sebagian pernyataan terjelas dapat dilihat dalam Yohanes 10. Yesus pertama kali menyebutkan sikap sukarela dari kematianNya yakni pada ayat 11,’’ Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya,’’. Ini kemudian diulangi pada ayat 15,’’ Sama seperti Bapa mengenal aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawaKu untuk domba-dombaKu,’’.[3]
Pernyataan Yesus tentang Akulah Gembala yang Baik dan menyerahkan nyawanNya untuk domba-dombaNya telah membedakan diriNya dengan para gembala Palestina. Memang para gembala tersebut hidup dengan resiko menghadapi bahaya, namun pada akhirnya mereka memandang nyawa mereka lebih berharga dari kawanan domba.[4]
Melihat kondisi gereja gereja saat ini tampaklah potret gereja belum secara utuh dan menyeluruh (holistik) meng-counter aspek-aspek kehidupan manusia yang rumit dan kompleks. Manusia secara individual dikodrati Allah dengan aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual. Aspek-aspek inilah yang melengkapi diri manusia sehingga layak dan utuh untuk tampil sebagai insan sempurna. Salah satu aspek saja yang tak terpenuhi maka manusia tidak lagi memiliki keutuhan secara normal.
Sayangnya, perhatian gereja biasanya hanya tertuju pada aspek spiritual, namun mengabaikan aspek kehidupan manusia lainnya. Ketika seseorang datang untuk mencari nasihat atau solusi atas masalah mereka, gereja cenderung memberikan solusi hanya berdasarkan analisis spiritual.
Pastoral Holistik
Kata ‘pastoral’ berasal dari bahasa Yunani ‘poimen’ yakni ‘pastor’ yang artinya gembala/Pendeta. Gembala wajib mengembalakan domba-dombaNya untuk menelandani Yesus Kristus sebagai ‘Pastoral Sejati’ atau gembala yang baik (Yohanes 10). Objek pelayanan pastoral adalah menyelamatkan jiwa-jiwa (manusia seutuhnya) yang sudah menjadi anggota Kerjaan Allah (proses pemeliharaan jiwa).[5]

Kata Holistik berasal dari kata ‘whole’ (ingris) yang artinya seluruhnya, sepenuhnya. Jika dikaitan dengan frasa pelayanan yang holistik adalah pelayanan yang bersifat menyeluruh dan tidak terbagi-bagi. Memahami, memandang, mendekati dan memperlakukan manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pelayanan Holistik menunjuk pada tranformasi individu dan masyarakat dalam seluruh bagian kehidupan; spiritual, ekonomi, sosial, kemudian mengembangkan sebuah strategi yang selaras dengan visi.
Pastoral holistik merupakan jawaban sederhana dalam mengembangkan jemaat menjadi berkomitmen. Komitmen adalah perjanjian yang ditimbulkan dari sebuah kesepakatan dengan diri sendiri atau orang lain dan merupakan suatu sikap kebulatan tekad yang dimiliki seseorang dalam mencapai tujuan tanpa dapat dipengaruhi oleh keadaan apa pun, hingga tujuan itu tercapai.

Komponen komitmen yakni Kognitif (sisi pemikiran) yang akan membawa orientasi yang panjang (masa depan). Afektif (sisi perasaan) yang dapat berwujud pelekatan phsikologis dimana kenyamanan emosional indivudu dipengaruhi oleh reaksi objek komitmen diri. Psikomotoris (sisi perilaku) dimana objek komitmen menjadi tempat bersandar emosional yang terpecaya bagi dirinya.Pentingya sebuah komitmen dalam pencapaian tujuan harus dibarengi dengan perencanaan yang matang dan mantap. Setelah yakin jalanilah dan harus siap menerima resiko terhadap langka yang diambil.
Gereja yang Bertumbuh[6]
Gereja berasal dari kata Inggris church, berhubungan dengan kata kirk dalam bahasa Skotlandia dan kirche dalam bahasa Jerman. Semua istilah ini berasal dari kata Yunani, kuriakon. Bentuk ejektif netral dari kurios (Lord) berarti dari Tuhan. Istilah church merupakan terjemahan dari kata ekklesia (Yunani), yang berasal dari kata ek, berarti ‘keluar dari’, dan kaleo yang berarti “memanggil”. Jadi gereja adalah ‘suatu kelompok yang dipanggil keluar’.
Keberaadaan gereja bertujuan; pertama, dikumpulkan untuk melayani tubuh Kristus yakni supaya gereja menjadi dewasa (efesus 4: 13). Pengajaran, persekutuan dan ibadah dilakukan dalam gereja untuk membetengi dan menjadikan jemaat kokoh dan dewasa dalam Tuhan. Kedua, disebarkan untuk melayani dunia, yakni gereja tidak hanya melayani dalam ruangan saja tetapi harus keluar ke dunia (Matius 28: 18-20). Pekerjaan gereja adalah untuk menjadikan murid (orang yang belajar), membaptis mereka, dan membawa mereka kepada persekutuan orang percaya. Pelayanan penginjilan tidak dilakukan oleh orang-orang tertentu, melainkan oleh semua orang percaya (Kis 8:4).
Berita sentral yang dikabarkan gereja mula-mula adalah Kristus (Kis 8:5,12,35;9:20, 11:20), selanjutnya memberitakan melewati batas-batas Yahudi, menerobos kultural yang kaku (Kis. 10:34-43, 11:20,14:1) dan hasilnya banyak orang menjadi percaya. Pertanyaan tentang natur dari Injil telah lama diperdebatkan, namun demikian dalam PB sedikit sekali berbicara tentang tanggungjawab sosial di dunia. Galatia 6:5 menekankan tentang menolong saudara seiman , orang percaya juga harus ‘berlaku baik pada semua orang’.
Strategi Pastoral Holistik menuju Jemaat yang Berkomitmen
G Reiner menggambarkan jemaat yang hidup adalah sebagai jemaat yang dikumpulkan, dipanggil dan dipilih oleh Kristus, seperti rumah, tiang penopang dan dasar kebenaran, tentara, mempelai perempuan, perempuan (istri) dan tubuh Kristus. Ketika jemaat Kristus hidup di tengah tenga dunia maka ia akan seperti orang asing dan tonggak reklame adalah garam dunia, kota di atas gunung dan terang dunia. Jemaat yang hidup kudus, persekutuan yang kudus, berkelimpahan, pertumbuhan, karunia-karunia, pemberitaan injil dan sakramen yang murni, mengembangkan strategi gereja dan memiliki pemimpin (penatua/gembala) yang setia dan bertanggungjawab.[7]
Meningkatkan Kualitas Jemaat
Peningkatan kualitas jemaat harus dikembangkan holistik, baik secara perkembangan iman, kognitif (pengetahuan) efektif (moral) dan phsikomotoris (ketrampilan) yang berpusat pada kehidupan Yesus Kristus. Pekerjaan meningkatkan kualitas jemaat dilakukan oleh gembala atau pelayan Tuhan, karena itu gembala atau pelayan Tuhan tersebut harus menjadi teladan bagi jemaat. Artinya, kualitas jemaat akan bertumbuh seiring dengan kualitas gembala (blessing to be a blessing)
Untuk meningkatkan kualitas jemaat, gereja membutuhkan management penatalayanan yang terus di-upgrade sehingga tidak menciptakan rasa kejenuhan dalam pelayanan baik sebagai pelayan maupun sebagai jemaat yang dilayani. Strategi pelayanan yang dilakukan oleh gereja juga untuk menyikapi berbagai kondisi yang sedang dihadapi oleh gereja.
Meningkatkan Kualitas Gembala (pelayan Tuhan)
Untuk meningkatkan kualitas gembala (pelayan Tuhan) gereja wajib mengembangkan dalam beberapa model yang bermula dari seorang yang ‘dipanggil menjadi pelayan Tuhan’, yakni Pelayan Tuhan yang ‘Blessed to be a Blessing’ (diberkati menjadi berkat), Pelayan Tuhan yang ’Peacemaking’( menghadirkan perdamaian), Pelayan Tuhan yang menderita dan hidup dalam kemurahan Allah serta mengekspresikan kasih Agape untuk ‘’ Called to be a Blessing’(dipanggil untuk menjadi berkat), selanjutnya, Pelayan Tuhan yang mempunyai gaya hidup dalam ‘Spiritual Formation’ (pembentukan spiritual)Yesus.[8]
Integrasi Teologi dan Phsikologi
Integrasi antara teologi dan psikologi dalam pelayanan pastoral Kristen dibutuhkan untuk membantu pribadi yang mengalami masalah (konseli) . Firman Allah memiliki relevansi besar dan abadi untuk konselor atau konselinya, tetapi integrasi Teologi dan Phsikologi dapat menjadi sebuah konsep dan metode yang dianggap berpengaruh dalam pelayanan pastoral yang holistik menuju gereja yang sehat dan bertumbuh.
Theologia, dari kata Yunani, yaitu theos yang berarti ‘logos’.Webster mengartikan kata theology sebagai doktrin-doktrin agama dan hal-hal keilahian: lebih spesifik, studi tentang Tuhan dan hubungan antara Tuhan, umat manusia dan alam semesta. Sedangkan menurut Lorens Bagus, Theologia berarti ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik. Jadi, istilah theologia artinya suatu pernyataan atau interpretasi kebenaran tentang Allah dan ciptaan-Nya.
Psikologi, berasal dari kata psyche yang berarti pikiran dan logos yang memiliki arti ilmu yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang dapat diamati (observerable). Istilah perilaku atau tingkah laku digunakan dalam arti luas untuk memasukkan segala sesuatu yang manusia bisa melakukannya.Tingkah laku ini kadangkala sifatnya terbuka atau umum, kadangkala tersembunyi, samar-samar. Dari pengertian tersebut kemudian disimpulkan bahwa Psikologi merupakan sebuah bidang ilmu yang mempelajari dan mengamati tingkah laku manusia yang terbuka maupun tersembunyi.
Usaha untuk mengintegrasikan theologia Kristen dengan ilmu psikologi banyak mendapat kecaman atau tantangan. Ada yang berpendapat, wawasan psikologi adalah sekutu besar untuk Gereja karena membawa misinya di dunia. Lainnya menolak psikologi karena mereka melihat di dalamnya ancaman implisit untuk Gereja dan otoritas Alkitab.
MacArthur dan Mack mengutip pernyataan Bobgan yang menyatakan bahwa psikologi tidak lagi berbicara tentang mempelajari jiwa manusia; melainkan merupakan sekumpulan terapi dan teori yang berlainan, yang pada dasarnya bersifat manusiawi. Semua persangkaan dan sebagian besar doktrin psikologi tidak berhasil disatukan dengan kebenaran Kristen. masuknya psikologi ke dalam ajaran Gereja telah mengaburkan garis yang membatasi pengubahan tingkah laku dengan pengudusan. Dengan tegas ditulis dalam buku ‘ Pengantar Konseling Alkitabiah bahwa ‘jalan menuju keutuhan adalah adalah pengudusan spiritual.[9]
Adams, seperti yang dikutip oleh Gary A. Collins,tidak menyetujui theologia dan psikologi diintegrasikan dalam pelayanan pastoral konseling Kristen. Adams berpendapat bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Alkitab juga kepercayaan diri konselor saja sudah cukup memadai dalam mengkonseling dan tidak perlu studi psikologi.
Para ahli integrasi Theologi dan Phikologi justru berpendapat, m anusia sebagai gambar Allah yang telah jatuh ke dalam dosa mengalami banyak perubahan dari berbagai segi, yang tentunya memiliki keterpecahan baik di dalam dimensi psikis maupun spiritualnya.Hal inilah yang memungkinkan pengintegrasian antara teologi dan psikologi dalam menangani masalah psikhis dan rohani konseli. Karena dengan mengintegrasikan teologi dan psikologi, konseli dapat ditolong untuk memperbaiki pengertian akan keberadaan dirinya dan penerimaan diri. Psikologi melakukan observasi berupa penelitian atau pertanyaan dan memberikan data yang berkaitan dengan pemahaman teologis tentang manusia, dan teologi mengungkapkan kebenaran ilahi mengenai psikologi perkembangan manusia.[10]
Integrasi adalah proses dimana dua atau lebih disiplin ilmu dengan tetap mempertahankan identitas mereka sendiri sekaligus memetik manfaat dari sudut pandang masing-masing dan mengkomunikasikan kebenaran yang sama. Jadi, integrasi teologi dan psikologi perlu dan dapat digunakan, dimana kedua disiplin ilmu tersebut dapat mempertahankan identitasnya sambil menarik manfaat dari perspektif masing-masing dalam mengkomunikasikannya demi memperoleh dan memberikan suatu pandangan atau pengertian yang baru dan komprehensif.
Penulis akan memaparkan sejumlah aspek yang akan mememudahkan para pembaca, gembala dan pelayan Tuhan untuk memahami dan mampu menerapkan integrasi Theologi dan Phsikologi dengan nyaman dalam pelayanan holistik membangun jemaat yang berkomitmen;
Berpusat Pada Allah
Sejatinya, fokus teologi Kristen adalah berpusat pada Allah (God-centered), sedangkan psikologi berpusat pada manusia (man-centered). Alkitab mengajarkan tentang tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Mengapa? Karena Dia, pertama Mencipta (created)
Allah menciptakan dari tidak ada menjadi ada (ex nihilo, Kejadian 1:1-31). Kedua, Memelihara (providentia). Setelah Allah menciptakan segala sesuatu; maka Dia bertanggung jawab atas segala ciptaan-Nya dengan memelihara ciptaan-Nya (Matius 6:26-28;Ulangan 11:2;Mazmur 116:6, Mazmur 17:8;Amsal 2:8). Ketiga, Menyelamatkan (predestinasi). Setelah manusia jatuh kedalam dosa, maka Allah berkarya untuk meyelamatkan manusia dari perbudakan dosa. Karya-Nya ini justru telah dirancangkan sebelum dunia dijadikan dan telah dikerjakan-Nya disepanjang PL (Yesaya 25;9;Yunus 2:9). Ini terkait dengan pemilihan Allah (Roma 8:29;9:11;Efesus 1:4; 2Tesalonika 2:13). Puncaknya karya keselamatan ini dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus sebagai inkarnasi Allah untuk menyelamatkan umat-Nya (Matius 1:21).
Karya keselamatan Kristus ini merupakan satu kesatuan dengan karya Kristus yang lainnya, yaitu penebusan (Roma 3:24),pendamaian (Roma 5:11) dan pengampunan dosa (Efesus 1:7; Kolose 1:14). Ini juga tidak terlepas dari karya roh kudus yang membuat orang dilahirkan kembali (Yohanes 3;3-5). Setelah itu roh kudus terus berkarya untuk menghibur gereja (Yohanes 16:7), memimpin gereja kepada seluruh kebenaran (Galatia 5:25).Hal ini berlangsung sampai Kristus datang kembali untuk menghakimi. Dan yang keempat, Menghakimi (judgment). Pada akhir zaman, Kristus datang menjadi hakim atas dunia (Ibrani 10:10; 12:23). Ini merupakan penghakiman yang terakhir.
Sementara, Psikologi yang didasarkan pada ‘man centered’, mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan individual. Menurut teori ‘self-determination’yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan menyatakan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia ditentukan oleh tiga kebutuhan dasar: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Otonomi merujuk pada perasaan bebas dalam mengambil keputusan, kompetensi adalah perasaan mampu dan efektif dalam melakukan tugas, sedangkan keterhubungan adalah perasaan terhubung dengan orang lain.
Natur Manusia
Teologi Kristen mengajarkan bahwa natur manusia adalah berdosa, (Roma 3:23). Sedangkan psikologi mengajarkan bahwa natur manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidaknya netral. Alasan sesungguhnya manusia bertingkah laku salah adalah karena tekanan dari luar dirinya.
Natur manusia yang kita miliki mencerminkan beberapa sifat Allah, meskipun dalam jumlah yang terbatas. Kita dapat mengasihi karena kita diciptakan menurut gambaran Allah yang adalah kasih itu sendiri (1 Yoh 4:16). Karena kita diciptakan menurut gambar-Nya, kita dapat mengasihi, setia, jujur, baik, sabar, dan adil. Di dalam kita, sifat-sifat ini telah terdistorsi oleh dosa, yang telah berdiam di dalam natur kita. Artinya, pada awalnya sifat manusia adalah sempurna, sesuai dengan yang telah diciptakan oleh Allah. Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan ‘sangat baik’ oleh Allah yang penuh kasih (Kej 1:31), tapi kebaikan tersebut dirusak oleh dosa Adam dan Hawa. Akibatnya, seluruh umat manusia jatuh ke dalam dosa.
Kebanyakan pemikiran psikologis percaya bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan melalui upayanya sendiri diri manusia dapat meningkatkan kehidupan tanpa Allah. Psikologi juga mengajarkan bahwa manusia adalah korban dari masa lalunya dan masalah itu berasal dari orang-orang dan lingkungan yang negatif mempengaruhi manusia di masa lalu. Dengan kata lain psikologi tidak mengakui natur manusia sebagai orang berdosa tetapi setiap masalah yang dialami oleh seseorang pada masa sekarang ini adalah akibat dari kesalahan yang dialaminya pada masa lalu.
Nilai
Alkitab mengajarkan mengenai ke-absolut-an, bahwa kebenaran sejati bersumber dari Allah. Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut.
Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah kebenaran (Why 3:14; Yoh.14:6; 14:17; 15:26). FirmaNya juga disebut kebenaran (Yoh. 17:17; 2 Kor.11:10). Artinya, kebenaran tentang Allah yang harus kita ketahui telah diungkapkan dalam Alkitab. Alkitab adalah wahyu Tuhan, perkataan Allah yang tidak mungkin salah.
Sedangkan psikologi mengajarkan tentang relatif. Sesuatu yang dipandang baik oleh seseorang, belum tentu dilihat baik juga oleh orang lain. Dalam mencari kebenaran, haruslah kembali kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan diri-Nya sendiri adalah kebenaran (Yoh 14:6).
Sumber Jawaban
Sumber jawaban dalam ilmu psikologi adalah di dalam diri individu itu sendiri. Tugas dari seorang konselor hanyalah menolong konseli untuk menemukan jawabannya. Sedangkan orang Kristen percaya bahwa jawaban-jawaban dalam hidup ini terdapat di dalam Fiman Tuhan yang telah dinyatakan oleh Allah.
Berkaitan dengan ini, Subeno menulis, Allah mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaranNya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Inilah yang ditekankan dengan proklamasi: Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus didasarkan pada Alkitab.
Metode
Sebagaimana pengertian psikologi mengenai natur manusia di atas, maka psikologi mengajarkan bahwa kunci dari masalah pribadi yang dialami oleh tiap individu terdapat pada masa lampau (past). Dibandingkan dengan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, Alkitab selalu memperhadapkan manusia dengan apa yang terjadi pada masa lampau, yaitu manusia berdosa, masa sekarang ini, sebagai manusia yang telah diselamatkan dan juga memperhadapkan manusia pada masa yang akan datang, yakni kehidupan kekal bersama Kristus di Surga.
Terdapat empat model integrasi teologi Kristen dan psikologi yakni sebagai berikut:
Pertama, The Against Model
Model ini merupakan posisi kekristenan melawan posisi psikologi dan dibangun berdasarkan asumsi bahwa ada konflik yang tak dapat diselesaikan antara psikologi dan kekristenan.40 Yang berpihak pada posisi kekristenan melawan psikologi tidak melihat nilai psikologi sehingga mengurangi semua masalah hanya dalam arena rohani. Mendukung hal ini, Benner menyatakan bahwa, pengurangan nilai rohani semacam ini membuat psikoterapi bertentangan dengan tujuan Allah. [11]
Kedua, The Of Model
Psikologi dianggap memiliki jawaban-jawaban sementara kekristenan dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting atau bahkan merusak kehidupan yang sehat.43 Freud menekankan bahwa kekristenan bersifat patologis (penyakit). Menurut Minirth dan Meier, baik The Against Model maupun The Of Model sama-sama terlalu menyerdehanakan masalah dengan mengurangi segala sesuatu pada satu sudut pandang.
Ketiga, The Parallels Model
Pada model ini, baik teologi maupun psikologi adalah dua ilmu yang terpisah namun sejajar untuk menemukan kebenaran. Menurut Benner, sifat dualistik pemisahan ini berlawanan dengan Alkitab.
Keempat, The Integration Model
Model pendekatan terakhir ini adalah psikologi berintegrasi dengan kekristenan. Menurut Carter dan Narramore, model integrasi ini berakar pada asumsi bahwa Allah adalah pencipta seluruh kebenaran.
Setiap model yang di atas, memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Model integrasi dari Carter dan Narramore, baik Against dan Of tidak memiliki keuntungan apa pun karena masing-masing bertahan dengan prinsipnya, dan model parallels mempunyai beberapa kekuatan
dasar tapi terbatas karena keduanya bergerak pada rel masing-masing tanpa bersinggungan.
Hanya model integration yang cukup lengkap karena kedua ilmu yang pada dasarnya bertolak belakang ini dapat diintegrasikan, asalkan tidak bertentangan atau sesuai dengan prinsip Alkitab karena iman Kristen bukan iman yang self-centered atau human-centered tetapi iman yang dibangun di atas dasar Alkitab dan Kristus atau Christ-centered.[12]
Harus diakui, teologi dan psikologi merupakan dua ilmu yang sangat berbeda sehingga tindakan untuk mengintegrasikan teologi dan psikologi bukan masalah yang mudah, karena meskipun memiliki tujuan yang terbaik untuk tetap alkitabiah, namun sangatlah tidak mudah untuk mengakui konsep-konsep psikologi atau pemikiran yang berkompromi dengan isi Alkitab.
Gereja tidak dapat menolak untuk melakukan pelayanan pastoral Koinonia (Persekutuan) Martuaria (Kesaksian) Diakonia (Pelayanan). Gereja yang sehat adalah gereja yang malakukan tugas ini dengan seimbang. Keseimbangan ini dikembangkan secara holistik sehingga jemaat mengalami pertumbuhan iman, terlibat dalam pelayanan dan rindu untuk menjadi berkat bagi banyak orang, terutama kawan seiman.(***)
[1] Tafsiran Matthew Hendry, Injil Yohanes 1-11. Hal 685-698
[2] Tafsiran Alkitab bagi orang Percaya, Perjanjian Baru William MacDonald Hal 564-567
[3] A Biblical Theology of The New Testtament, Roy B Zuck. Hal 243
[4] Teologi Perjanjian Baru Leon Morris.Hal 327
[5] Teologi Pastoral Harianto GP. Hal 5-6
[6] The Moody Handbook of Theologi 1 Paul Enns. Hal 393-415
[7] G Riemer. Penatua hal 74-86
[8] Teologi Pastoral Harianto GP. Hal 5-6
[9] John F. MacArthur, Jr., Wayne A. Meck, Pengantar Konseling Alkitabiah
[10] John D. Carter dan Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), 20
[11] D. Benner, Psychotherapy and the Spiritual Quest (Grand Rapids, Michigan: Baker, 1988)
[12] https://media.neliti.com/media/publications/349798-integrasi-teologi-dan-psikologi-dalam-pe-c1c661f4.pdf
 


