
Masyarakat Blokir Mobilisasi Mesin Drilling TMS
SULUTDAILY||Sangihe – Di tengah persiapan untuk perayaan natal, PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) memaksakan kehendak untuk terus melakukan aktivitasnya di Pulau Kecil Sangihe. Sampai sekarang ini, PT.TMS belum mengantongi ijin pemanfaat pulau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai instansi yang berwenang.
Seminggu belakangan, masyarakat sempat terkecoh, informasi beredar bahwa pembangunan pangkalan AL di Kampung Pananaru akan segera dimulai sehingga sudah ada hilir mudik petugas dan kapal di sekitar teluk Dagho. Di depan teluk Dagho telah terparkir sebuah kapal besar tertulis ‘Tol Laut’. Dan nyatanya di dalamnya sudah termuat alat-alat berat PT. TMS yang sudah dimuat di tronton. Diperkirakan kapal tersebut menunggu air pasang penuh, baru merapat kepelabuhan Ferry Pananaru untuk menurunkan alat-alat berat tersebut.
Dengan pengawalan personil polisi dari Polres Sangihe dan Polsek , dua hari lalu, sebuah tronton, dipaksakan melewati jalan kea rah Laine menuju kamp .PT.TMS di Bowone. Meskipun sempat dihadang masyarakat mereka lolos dengan pengawalan aparat penegak hukum.
Hari ini, Kamis, 23 Desember 2021, di tengah kesibukan kerja masyarakat untuk merayakan Hari Besar (Natal), mereka lebih memilih meninggalkan kesibukannya di rumah, dan datang berkumpul di Pelabuhan Pananaru dengan tujuan menghadang sebuah tronton bermuatan alat bor (drill) yang akan digunakan oleh PT.TMS dalam operasionalnya nanti. Ratusan masyarakat dari berbagai kampung terkumpul di Pelabuhan Pananaru, yakni dari Salurang, Bowone, Bentung, Binebase, Lapango, Kaluwatu, Dagho, Menggawa, Kalinda, Barangkalang, dll. Mereka melarang dibawanya alat tersebut. Mereka meminta alat tersebut dibawa kembali keluar dari Pelabuhan Pananaru.
Albiter Makagansa dari Salurang sebagai coordinator lapangan dalam aksi tersebut tegas menyatakan bahwa TMS illegal. Tidak memiliki ijin pemanfaatan pulau dari KKP. Dia mempertanyakan “kenapa harus dikawal oleh aparat penegak hukum (APH)?” mengapa APH justeru melindungi pelanggar hukum, bukan kepentingan yang jauh lebih besar, yakni keselamatan Sangihe sebagai pulau kecil yang harus dijaga? Mereka digaji oleh negara untuk melindungi rakyat, mengutamakan kepentingan wilayah perbatasan sebagai pulau kecil, kenapa mereka justeru lebih memilih mengawal mobilisasi alat TMS?”
Demikian pula halnya, aktivis SSI Venetzia Andemora dari kampung Bentung, yang selama ini getol menyuarakan penolakan tegas melalui berbagai aktivitas yang dilakukannya. Venetzia, mengatakan ‘Keselamatan Sangihe, jauh lebih penting dari pada segalanya. Kehadiran PT.TMS sangat berpotensi mengancam keselamatan lingkungan dan manusia di Sangihe. Ini ruang hidup kami. Kami hidup dan mati di Sangihe. Kalaupun kami harus mati memperjuangkan tanah kami, maka itu yang akan menjadi pilihan, jika negara ini tidak berpihak pada keselamatan rakyat”!..
Edison Siringan, seorang tukang dengan spesifikasi pembuat kapal-kapal nelayan yang juga berprofesi nelayan dari kampung Kalinda juga, menyatakan bahwa “pilihan hidup dan mata pencaharian orang Sangihe mayoritas adalah nelayan. Kami sudah mendengarkan kisah tentang pencemaran laut di teluk Buyat. Dan pada saat itu Laboratorium Forensik Mabes Polri menyatakan Teluk Buyat tercemar, berakibat pada ikan-ikan yang dikonsumsi menimbulkan penyakit bagi manusia, maka kami tidak mau hal itu terulang di Sangihe. Biarlah hidup kami aman, damai dan sejahtera seperti sekarang ini. Jangan diganggu oleh Tambang. Kami tidak butuh emas. Kami butuh ikan untuk dijual dan dimakan oleh keluarga kami. Itu sudah cukup. Kami butuh tempat tinggal yang aman dan bisa dinikmati oleh anak-cucu ke depan” imbuhnya.
Kehadiran masyrakat dari berbagai kampung dan kecamatan, jelas menggambarkan bahwa penolakkan terhadap PT.TMS sangat massif. Bahkan, ada juga masyarakat yang datang dari Sesiswung yang bergabung menyatakan penolakan.(*/stb)