Ketua JADI Sulut Ingatkan, Mulai 8 Januari Petahana Tidak Boleh Mutasi Pejabat

SULUTDAILY|| Manado- Ketua Presidium JADI Sulut Johnny Alexander Suak mengingatkan jelang penyelenggaraan Pilkada 2020 di Sulawesi Utara, isu penggantian pejabat selalu muncul bersamaan dengan momen pemilihan kepala daerah lima tahunan tersebut.

“Baik petahana (akan maju lagi sebagai Cakada) atau bukan petahana termasuk penjabat Gubernur atau penjabat Bupati dan Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri,” kata Suak

Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan KPU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, bahwa penetapan pasangan calon ditetapkan 8 Juli 2020. Bila dihitung mundur 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon, maka sejak 8 Januari 2020, kepala daerah tidak diperbolehkan lagi melakukan pergantian pejabat, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Menurut Mantan Bawaslu Sulut ini, tatas waktu penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah sudah diatur tegas pada pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.

Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Mengantisipasi hal diatas dihimbau Secepatnya Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Utara harus menyurati Gubernur Sulut dan para bupati/wali kota di 7 kabupaten/kota jelang pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020. Para kepala daerah dilarang melakukan mutasi pejabat di pemerintahan jelang pilkada,” jelasnya.

Surat imbauan bagi petahana Gubernur maupun Bupati dan Walikota yang akan bertarung pada Pilgub 2020 merupakan tugas Bawaslu untuk melakukan pencegahan.

Pencegahan yang dimaksud adalah upaya meminimalisir potensi pelanggaran baik pidana maupun administrasi. Untuk itu, terkait dengan tahapan pencalonan ini, perlunya Bawaslu Sulut melayangkan surat imbauan terkait larangan yang sudah diatur dalam undang-undang terkait soal pergantian pejabat.

Larangan berlaku 6 bulan sebelum pendaftaran di pilkada, larangan ini berlaku bagi petahana yang bakal mencalonkan diri di pilkada, maupun yang tidak mencalonkan.

Pentingnya menyurati Gubernur dan semua Bupati/Walikota khususnya petahana, bahwa dilarang melakukan pergantian pejabat terhitung 8 Januari, kecuali ada izin dari Kemendagri dengan konsen utama pada hal ;

Pertama, mutasi dilarang sejak enam bulan jelang pendaftaran pilkada, larangan mutasi jelang pilkada tertuang dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada ayat (2), disebutkan bahwa larangan mutasi berlaku sejak enam bulan sebelum penetapan pasangan calon pilkada di KPU.

Sesuai ayat (5) pada pasal tersebut, petahana yang melanggar ketentuan mutasi bakal dikenai sanksi pembatalan sebagai calon di pilkada. Jika mereka melakukan tanpa ada izin dari Kementerian Dalam Negeri, maka itu pelanggaran. Dan jika terbukti bisa berefek diskualifikasi. Jika tidak maju (di pilkada), dia bisa dipidana.

Kedua, Petahana juga dilarang manfaatkan program pemda untuk pencalonan. UU 10/2016 juga mengatur larangan bagi kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan diri di pilkada. Larangan ini berlaku enam bulan sebelum penetapan pasangan calon, hingga selesai pilkada.

Jika petahana yang melakukan pergantian pejabat, maka sanksinya adalah diskualifikasi atau pembatalan sebagai calon. Sedangkan bagi Gubernur, Bupati dan Walikota yang maju, maka sanksinya adalah pidana pemilihan.

Diketahui, sesuai pasal 188 yang dimaksud yakni, “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”

Selain itu, pada Pasal 190 berbunyi “Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

“Bahwa berdasarkan Pasal 73 ayat (7) Undang–Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara . Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. Semoga Bermanfaat untuk Pilkada yang Berintegritas dan Berkualitas,” tutupnya. (**)

CATEGORIES
TAGS
Share This