Regenerasi  Agama Tua Minahasa, Antara Ada dan Tiada

Regenerasi Agama Tua Minahasa, Antara Ada dan Tiada

‘‘Salam Rahayu’’, ucap Wulan dengan wajah memelas sambil menggenggam smart phone miliknya.  Namun, sang ayah masih sibuk dengan ulasan beberapa topik di WhatsApp. ” Salam Rahayu Papa, open my handphone please,”sekali lagi gadis kecil bernama lengkap Pamagiyan Rintiwulan Sual (3 tahun)  mulai  merengek dengan menyenggol bahu si ayah dengan tangan munggilnya. Mata Wulan mulai berbinar ketika ayahnya membuka passwork handpone. Dengan girang dia mulai menonton film dinosaurus kesayangannya di aplikasi youtube.

Bagi seorang ayah penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang setia di jalan para leluhur, Iswan Sual menaruh harapan besar kepada Wulan untuk mengenal sejak dini ajaran mulia yang diwariskan para leluhur Malesung. ‘’Tapi wulan masih balita, masih terlalu kecil,’pikirnya. Pelibatan Wulan dalam setiap ritual, kegiatan ibadah, pendidikan anggota dan syukuran menjadi solusi.

Iswan bersama saudaranya Frits Sual dan Yanli Sengkey mendirikan Lalang Rondor Malesung (Laroma), sebuah organisasi kepercayaan Malesung pada tanggal 17 Februari 2016 di Desa Tondei Dua, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara.

Laroma memiliki Akta Notaris Kenny Robert Calvyn Monintja, S.H., M.Kn. nomor: 01/19 Oktober 2020 dan mendapat Surat Keterangan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Sulawesi Utara (Kesbangpolda Sulut) nomor: 009/27/kesbangpolda/XII/2021 dan telah memiliki Tanda Inventarisasi Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit. KMA) Direktorat Jenderal Kebudayaan KementerianPendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) nomor: 1145/F2/KB.02.03/2021.

Dalam mengembangkan organisasi ini, sebagai Ketua Laroma, Iswan aktif  dalam sebuah forum Majelis Luhur Kepercayaan TerhadapTuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pusat maupun MLKI Sulut. Ia juga terus bersosialisasi untuk menggenalkan Laroma dalam setiap kegiatan yang melibatkan para tokoh agama.

Wale Paliusan Laroma Dirusak

Perjalanan organisasi penganut penghayat kepercayaan ini tak selalu mulus. Selasa kelabu,  21 Juni 2022,  seorang bernama Kengki merusak dan menghancurkan bangunan Wale Paliusan atau tempat berkumpul Penghayat Kepercayaan Laroma di Desa Tondei Dua, Jaga II, Kecamatan Motoling Barat.  

Tak puas melihat bangunannya hancur, dia kemudian kembali  sekirat pukul 20.00 Wita dengan membakar ban bekas di sekitar Wale Paliusan . Keesokan hari juga membawa motor sensor, menebang pohon kelapa di lokasi tersebut dan persis menimpah rumah yang sudah hancur tersebut.

Aksi Kengki rupanya dilegitimasi Warga setempat, saat persidangan di pengadilan, penasehat hukum  Kengki memberikan bukti surat dukungan dari masyarakat mengenai perbuatannya, namun menurut majelis hakim, cara dan perbuatan terdakwa yang melakukan pengrusakan adalah bentuk yang tidak dibenarkan oleh hukum.

Terdakwa perusakan Wale Paliusan dengan Nomor perkara 78/Pid.B/2022/PN Amr atas nama Frengki Sual alias Kengki, divonis Majelis Hakim dengan hukuman penjara selama 8 bulan. Pembacaan putusan ini digelar di Pengadilan Negeri Amurang, Kamis (23/02/2023).  Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut dengan pasal 406 ayat 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan penjara selama satu tahun.

Majelis hakim berpendapat, keberadaan Laroma tersebut telah sesuai dengan implementasi keputusan Mahkama Konstitusi nomor 97 PUU-XIV/2016 yang menyatakan kata “agama” dalam pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”. Artinya, Penganut Kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk-pemeluk enam agama yang telah diakui oleh negara.

Terdakwa Kengki divonis 8 bulan penjara

*****

Perjumpaan Agama Tua Minahasa dan Agama Kristen

‘’ Buku itu berisi ulasan sejarah perjumpaan Agama Minahasa (Wailan) dan Agama Kristen abad ke 19,’’ ucap Dr. Denni HR Pinontoan, Penulis Buku berjudul Walian dan Tuan Pandita.

Tawaran keyakinan baru melalui ajaran para misionaris ini mendapatkan ruang, setelah beberapa calon Guru/Pendeta Minahasa (penulong ) pertama yang direkrut para misionaris untuk mengikuti ‘pendidikan anak piara’ berasal dari keluarga Walian yang mempraktekkan agama tua Minahasa.

Kehadiran misionaris NZG J.F. Riedel dan J.G. Schwarz tahun 1831, kemudian menyusul para misionaris yang lain membuat penganut Wailan mendapatkan pencerahan baru terkait keyakinannya. Terjadi negosiasi identitas atas kondisi ketika para Wailan tersebut membutuhan pijakan baru saat dilanda bencana beruntun.

Dr Denni HR Pinontoan

Para walian atau imam memiliki kedudukan dan peran sentral dalam praktek religi Minahasa. Para zendeling – yakni mereka disapa dalam istilah Melayu, ‘pandita’ atau ‘tuang pandita’ – yang diutus oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG),  telah berkembang  menjadi modern, selaras dengan    kekristenan masa itu, yaitu dorongan kuat menyebarkan  Injil Yesus Kristus di tengah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktek kepercayaan/religinya sendiri.

Rupanya pendidikan gratis yang diberikan para misionari menjadi jalan pembuka perjumpaan Agama Tua Minahasa dan Agama Kristen yakni kini diyakini sebagian besar warga Minahasa.

Secara internal,  kondisi religi Minahasa, -terutama dikalangan walian- pada masa ini sedang mengalami dinamika tentang spiritualitas dan religiusitas. Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan kekristenan. Dominasi Indische Kerk dalam pengaruh kuat kepentingan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, telah menyebabkan adanya keragaman corak dan pendekatan, serta dinamika dalam idealisme misi yang dijalankan.

Sebagai Sejarawan Minahasa yang juga Dosen Institut Agama Kristen Negeri Manado ia berpendapat semua yang mempraktikkan satu kepercayaan, di dalamnya ada ritual, menyadari adanya  Maha Kuasa sang  pencipta yang mengatasi segalanya, memiliki mitologi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna, tujuan hidup dan asal kehidupan atau alam semesta, dan hal tersebut  dipercaya oleh sekelompok orang komunitas itulah agama sebenarnya.

Hingga saat ini Orang Minahasa masih memeluk kepercayaannya, apakah itu Agama Malesung atau sebutan lainnya, ‘’ Saya lebih menyebut bahasa akademik Agama Tua Minahasa,’’ujar Pinontoan. 

Setiap awal tahun  agama tua Minahasa bisa dilihat dalam sebuah demonsrasi adat di Watu Pinabetengan. Mereka yang berKTP Kristen Protestan, Katolik , Hindu, Budha dan Muslim datang berkelompok melakukan ritual simbol agama lama.

Sebuah fakta  bahwa ada upaya menghidupkan kembali adalah sebuah keniscayaan dan merevitalisasi agama tua tidak bisa ditolak. Dan ketika ada orang kristen Minahasa mengkafirkan agama tua leluhur Minahasa, kini tak lagi relevan.

Fenomena warga Amerika Serikat kembali mempelajari tradisi tua suku Indian menunjukan bahwa agama tua tidak pernah mati. Warga AS Keturunan Indian ini memandang perlu memelihara hubungan yang kuat dengan masa lalu, baik sejarah dan tradisi tua.

Seperti halnya Agama Tua Minahasa, tidak pernah hilang apalagi mati.  Diberbagai tempat muncul komunitas yang mempraktekan ritual kepercayaan leluhur. ‘’Fenomenta terakhir Laroma,’’ sebut Pinontoaan

Bahkan kini ritual lama tersebut tidak disadari telah bertransformasi dalam kehidupan kekristenan baik dalam ibadah seperti syukuran rumah baru, ibadah tiga malam, kumaus – selesai acara ibadah penguburan pada esok harinya dilakukan acara makan bersama keluarga­- dan lainnya. Bahkan ajaran Kristen belum mampu menghilangkan ingatan tua, gen leluhur yang masih melekat dalam praktek kehidupan generasi ke generasi.

‘’Kalian sudah Kristen, sudah tak lagi percaya gaip?’’ tanya Pinontoan kepada para mahasiswanya

‘’Iya Mner torang (kami) Kristen’, yang gaip kami sudah tidak percaya’’ jawab mereka serempak.

‘’ Untuk praktek terkait materi kuliah hari ini, Jumat malam, kelas ini akan ke kuburan,’ tantang sang Mner.

‘’Adoh, ke kuburan malam-malam takut Mner,’’ kata para Mahasiswa itu.

*****

Pikiran Nirsadar dan Filosofi Ikan Bandeng

Dr. Ivan RB Kaunang, S.S., M.Hum berpendapat bahwa  secara sosio-politik, negara  sudah mewadahi para penghayat kepercayaan leluhur tetapi memang belum 100% . Masih ada diskriminasi terhadap pemeluk agama lokal/pribumi. Hak-hak sipil agama lokal sering terabaikan karena seorang penganut agama lokal atau pribumi hanya diperkenankan mencantumkan identitas agamanya di kolom kepercayaan Kartu Tanda Penduduk (KTP).  Negara baru mengakui enam agama yakni Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.  

Agama lokal di Indonesia penamaanya masih melekat pada  kepercayaan komunitas tertentu seperti Kaharingan di Kalimantan, Kejawen (Jawa), Buhun dan Sunda Wiwitan (Jawa Barat), Tolotang (Sulsel), Parmalim (Sumut), Aluk To Dolo (Tana Toraja) Sakai di Riau dan masih banyak lagi yang lainnya.  

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Komunitas Kepercayaan Adat ini, tergabung dalam satu wadah Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) dalam koordinasi  dengan Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan .

Di Sulawesi Utara terdapat sejumlah agama lokal yang masih bertahan seperti ‘Masade’ di Kepulauan Sangihe.  Masade’ adalah penyebutan yang digunakan oleh pengikut ajaran ini, merujuk pada orang pertama yang mengajarkan ajaran ini yakni Umar Masade sosok seorang guru . ‘’ Hingga saat ini mereka masih melakukan ritual ajaran tua,’’kata Dr Ivan.

Kemudian, tradisi ‘Mintahang’ di Bolaang Mongondow. Mintahang adalah kepercayaan tradisional yang diyakini warga setempat . Fenomen terkini  yakni di Minahasa yakni berkembangnya ajaran ‘Malesung’ melalui sebuah komunitas Lalang Rondor Malesung (Laroma). Kehadiran organinasi ini sempat mendapatkan penolakan warga yang berujung pada perusakan gedung pertemuan/tempat ibadah.

Dr Ivan RB Kaunang

‘’Masyarakat Malesung atau Minahasa sejak dulu telah memiliki sistem kepercayaannya sendiri dan hingga saat ini, aktifitas kepercayaan agama tua ini masih ada. Meskipun sistem regenerasi terhadap kepercayaan terhadap leluhur ini seperti tidak terlihat,’’kata Dr Ivan.

Ia mengatakan, manusia memilik pikiran bawah sadar yang menyimpan informasi  melalui pengalaman personal berupa ingatan-ingatan jangka panjang yang membentuk kepribadian, kebiasaan, pemicu emosi, pemicu tindakan, kreativitas, dan sejumlah besar data potensial lainnya.

‘’ Saat kita melewati kuburan di malam hari, akan muncul pikiran bawah sadar (nirsadar), sebuah ingatan tentang kepercayaan leluhur. Ada orang bisa melewati kuburan ini dengan santai, tetapi ada juga yang dihantui perasaaan takut dan ingin berlari dari lokasi tersebut. Ingatan lama telah mempengaruhi pikirannya saat itu,’’ kata Dr Ivan.

‘’ Ketika bekerja lembur sendirian di kantor dan saya hendak mau ke toilet,’’ cerita Wakil Dekan III  Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sam Ratulagi Manado ini.

‘’Suasana tenang, tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman,’’.

‘’ehem..ehem..ehem’’

Suara serak tiga kali ini, saya lakukan untuk manandai bahwa saya menyampaikan permisi ingin menggunakan toilet.

‘’Hal  ini masih dilakukan banyak orang termasuk saya, agar tidak mengalami pengalaman mistis,’’.

‘’Jadi, kepercayaan agama tua yang pernah kita dengar dari orang tua, cerita-cerita dalam buku sejarah Minahasa dan referensi lainnya akan membentuk pengalaman baru dalam pikiran nirsadar kita’’.

‘’ Sekalipun komunitas pengahayat kepercayaan leluhur ini tidak dilembagakan dengan legalitas KTP agama Malesung, praktek ajaran itu masih lestari dalam setiap personal warga Minahasa,’’.

‘’Mungkin bisa dikatakan antara ada dan tiada. Artinya ada tetapi seperti tidak ada,’’ ujar Dr Ivan mantan Kajur Sejarah di FIB Unsrat Manado yang mengilustrasikan keadaaan agama lokal Minahasa dengan filosofi ikan bandeng . Di habitat aslinya, ikan bandeng dapat hidup dan beradaptasi di 3 jenis perairan, yaitu air tawar, air laut dan air payau. Ikan ini tidak stres ketika mengalami desakan air laut dan air sungai.

*****

Mestro Seni Tradisi

Tonaas Christian Rinto Taroreh mengungkapkan, agama leluhur tetap dilestarikan di tanah Minahasa. ‘’Ratusan komunitas masih mengelar acara ritual agama tua dalam bentuk upacara-upacara adat di seluruh wilayah Minahasa,’’kata Tonaas Rinto penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi pada acara Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020.

Ia mengingatkan untuk meneruskan pewarisan leluhur sebaiknya tidak disentuh dengan politik negara dan atau politik gereja. Kebijakan negara sudah memberi ruang bagi para penganut kepercayaan untuk menjalankan keyakinannya, demikian juga gereja. Meski demikian masih saja terjadi diskriminasi dibeberapa wilayah.

Tonaas Rinto mengakui regenerasi ajaran agama tua di Minahasa selama ini hanya dilakukan seperti apa adanya. Pendidikan tentang ajaran leluhur ini berjalan tanpa format dan pola pendidikan yang terstruktur . ‘’ Hanya pada komunintas dan internal keluarga yang masih melakukan aktivitas upacara adat. Ada juga yang diam-diam belajar dari pengalaman dan ingatan-ingatan masa dulu,’’ ujar ayah Rafael Christofel Wuaya  dan Gabriel Zakharias Maka.

‘’KTP saya Kristen Katolik,’’

‘’ Saya juga melakukan dan melestarikan warisan leluhur dengan melakukan upacara adat, penyelamatan situs, pengobatan tradisional, mengajar tari Kawasaran dan lainnya,’’

‘’ Dalam kehidupan di masyarakat yang paling penting adalah kebaikan dan keteladanan, dan saya bisa berdampingan dengan warga di kampung,’’.

Apakah agama tua ini perlu dilembagakan?

‘’Ketika pergi meninggalkan dunia, kita tidak tau pencipta kita beragama apa,’’

Artinya agama dan kepercayaan hanya sebuah jalan untuk menjalin hubungan personal dengan sang khalik. Sebuah cara manusia untuk melayakan diri dengan pencipta.

‘’Bagi saya, memahani dan mempraktekkan nilai dari ajaran Minahasa lebih penting dari legitimasi lembaga dan penyebutan agama di KTP,’’ ujarnya.

Suami dari Melita Lokas ini lahir di Tomohon, 9 Desember 1981, tinggal di Wanua (Desa) Warembungan, Jaga13, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Masa kecil Rinto tinggal bersama neneknya di Warembungan merupakan pengalaman yang telah mempengaruhinya saat ini. Papa Tin, kakak dari neneknya  adalah teterusan (pimpinan) Kawasaran dan sering mengingatkan Rinto kecil agar menjadi seorang pria dewasa yang kuat . Papa Tin  menirukan rupa Kawasaran di hadapannya dengan menarik.

Tonaas Rinto Tarore

Sejak saat itu, nasihat Maestro Kawasaran selalu tertanam di benaknya, termasuk kisah para leluhurnya untuk berjuang menjaga tanah di Warembungan.

Rinto dewasa mulai mengenalkan Kawasaran di lingkungan keluarganya sendiri. Namun rasa gelisa   akan eksistensi Kawasaran mulai muncul  tahun 2000-an, manakala ia sedih melihat tradisi leluhur  ini hanya diperankan oleh para lansia.

Kegelisahan Rinto sampai ke telinga pamannya . Ia ingin melestarikan tarian perang ini dengan merekrut anak-anak muda di luar garis keturunan pemain Kawasaran  untuk turut mempelajarinya agar tradisi leluhur ini tidak punah.

Kawasaran berasal dari dua kata; ‘kawak’ (melindungi) dan ‘asaran’ ( berlaku seperti leluhur). Kawasaran bermakna berlaku seperti leluhur di masa lalu yang pelindung tanah, negeri dan kehidupan keturunan Minahasa.

Tahun 2003-2005, Rinto yang biasa dipanggil dengan hormat oleh masyarakat dengan sapaan Tonaas Rinto (tou ta’as; orang kuat/bijaksana) mulai mengajarkan tradisi keluarga ini kepada orang lain di luar garis keturunan mereka dengan membentuk komunitas-komunitas di Minahasa.

Rinto juga bersama komunitas lainnya secara intens  melakukan penyelamatan situs-situs budaya prasejarah, seperti pemugaran waruga, watu lesung, batu pendiri kampung dan lainnya di seluruh wilayah Minahasa.

‘’ Saya melakukan ini bukan hanya untuk menjaga situs, tetapi untuk menjaga nilai-nilai yang diwariskan para leluhur,’’tegasnya.

Rinto mendapatkan penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi karena melestarikan tari Kawasaran, sebuah tarian  warisan tradisi keluarga,  turun-temurun, dari generasi ke generasi, di keluarga-keluarga tertentu di Minahasa.

Di Sulut, 425 Jiwa Miliki KTP Penganut Aliran Kepercayaan

Penghayat kepercayaan diakui secara sah oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) )  ‘’Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,’’. dan Pasal 29 ayat (2) ‘’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Kepala BPS Sulut Asim Saputra

Penghayat kepercayaan juga telah diakui dalam Undang-Undang Adminduk yaitu UU No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 24 Tahun 2013. Pasal 61 dan Pasal 64 menyatakan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen datanya tidak dicantumkan dalam kolom KTP-el atau KK, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan

Kemudian ketentuan Pasal 61 dan Pasal 64 ini dianulir atau dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 yang selanjutnya ditindaklanjuti melalui Permendagri Nomor. 118 Tahun 2017 Tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan seluruh permohonan para pemohon dari Penghayat Kepercayaan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan, termasuk KTP-el dan KK.

Kepala Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara Asim Saputra mengungkapkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, sebanyak 62,98%  penduduk Sulawesi Utara beragama Kristen pada Juni 2021.

Jumlah penduduk di Sulut mencapai 2,66 juta jiwa hingga 30 Juni 2021. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 1,67 juta jiwa (62,98%) beragama Kristen. Agama Islam  843,68 ribu (31,77%). Katolik 117,71 ribu (4,43%) , Hindu 15,84 ribu (0,6%) .

‘’Sebanyak 3,88 ribu (0,15%) memeluk agama Buddha, Konghucu sebanyak 1,66 ribu jiwa (0,06%). Dan sebanyak 425 (0,02%) penduduk menganut aliran kepercayaan,’’kata Asim

Di Indonesia jumlah penduduk yang menganut aliran kepercayaan di Indonesia sebanyak 126.515 jiwa hingga 31 Desember 2021. Menurut wilayahnya, Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan penduduk yang menganut aliran kepercayaan terbanyak di Indonesia, yakni 35.229 jiwa.

Kemudian Sulawesi Selatan dengan 25.758 jiwa. Sebanyak 9.378 penduduk di Maluku juga menganut aliran kepercayaan. Kemudian, 9.121 jiwa di Kalimantan Selatan, 6.204 di Jawa Tengah,  5.084 di Sumatera Utara.

Jawa Barat sebanyak 3.282 jiwa. Lalu, sebanyak 3.261 penduduk yang menganut aliran kepercayan berada di Sulawesi Tengah. Kalimantan Utara  sebanyak 14 penduduk. Sementara, Maluku Utara menjadi provinsi dengan penduduk yang menganut aliran kepercayaan paling sedikit, yakni 8 penduduk.  

 *****

Wulan terlihat ceria, menikmati suasana perayaan ulang tahunnya yang ke 3. Dengan riang dia berlari gembira, sesekali mendatangi meja mengambil minum melepas dahaga usai upacara adat Tumanei Endo Tinouan atau peringatan hari lahir.

‘’Upacara Peringatan hari lahir dilaksanakan secara sederhana, diwarnai dengan penghormatan kepada leluhur dan membagi berkat kepada sesama dan keluarga,’’ kata Tonaas Iswan.

‘’Inti upacara ini adalah memohon perlindungan Tuhan untuk melepaskan dari hal-hal negatif dan permintaan agar dipanjangkan umur. Ritual diawali dengan simbolisasi meletakan bibit jagung dan padi di piring putih masing-masih berjumlah 9 butir yang memiliki arti angka kesempurnaan,’’

‘’Selamat ulang tahun Wulan’’

Sebelumnya, saat berumur 1 tahun, Wulan juga mengikuti ritual ‘Rumoyor Sitoyaang’, atau dikenal dengan upacara kelahiran dengan menggunakan beberapa media sebagai simbolisasi. Dalam Ritual ini, Waliaan (pendeta) mendoakan Wulan supaya diberkati oleh Tuhan dan memohon perlindungan dijauhkan dari  roh jahat dengan menggunakan tanaman Tawaang yang bagi warga Minahasa sebagai pembatas tanah (pembatas yang jahat) yang dicelupkan ke air (penyucian dan pembersihan dari penyakit) dalam wadah daun woka kemudian dipercikan beberapa kali ke tubuh si anak. .

Pamagiyan Rintiwulan Sual, generasi Laroma

Selain itu terdapat  9 orang membawa lidi (senjata yang menghalau roh jahat) dan Walian akan membuat api dengan kemenyan yang menghasilkan wewangian dan asap yang diyakini akan mengusir roh jahat.

Akhir dari ritual ini, rombongan akan menuju ke situs Watu Lesung Lutau, setiap orang akan mencuci wajahnya dengan air dari batu ini untuk menjaukan dari hal-hal sial.

‘’ Peran   Malesung   secara   umum   adalah bagaimana menciptakan  hubungan   yang   harmonis   antara umat  Malesung  dengan  Sang  Pencipta,  dengan  sesama manusia, dan  alam  sekitar,’’ ucapnya.

Terdapat beberapa organisasi kepercayaan Malesung di tanah Minahasa sebagian besar sudah tidak aktif dan sebagian lagi masih aktif berkegiatan. Organisasi Empung Lokon Esa, Kalkilkan, Sanga Lalan Rondoir, PaempunganWaya Si Opo Empung, Rumareges, SiPaempungan, Tonaas Walian, dan Pahkampetan merupakan organisasi kepercayaan Malesung yang sudah tidak eksis lagi.

Sedangkan organisasi Ramai, Manguni Esa Keter, Waraney Waha, Waraney Wuaya, Paesaan Mangindayo, Dan Lalang Rondor Malesung merupakan organisasi kepercayaan Malesung yang masih aktif hingga saat ini dan tergabung dalam MLKI cabang Sulawesi Utara. Laroma kini memiliki anggota 157 jiwa (25 KK) yang berjuang untuk tetap eksis dengan kegiatan ritualnya. (Jr)

CATEGORIES
TAGS
Share This