Konflik dan Semangat Baru ‘Ke-Kawanu-an’
SULUT DAILY|| Opini- Tanggalkan sejenak posisi kita masing-masing. Lupakan bahwa saya di Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Pusat dan anda di KKK Jabodetabek. Biarkan kita semua berada pada fakta yang sama, yakni bahwa saya dan saudara adalah warga Kawanua. Warga atau tou Kawanua yang di Tanah Rantau, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, yang sejak tahun 1973 mendeklarasikan diri sebagai warga Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK). Meski sejenak, saya percaya, kesamaan kita sebagai sesama Tou Kawanua akan memampukan kita, sekali lagi, berdiri pada pijakan fakta yang sama. Yakni bahwa kita, saudara dan saya, adalah sama-sama perantau asal Tanah Leluhur Minahasa.
Anda atau siapa saja yang Tou Kawanua, tentu kemudian bertanya? Untuk apa “yang sejenak” itu kita lakukan?
Pertanyaan yang wajar, tapi jangan khawatir, saya tidak akan memanipulasi kesadaran sejenak itu. Melainkan, mengajak kita sekalian untuk mundur beberapa tahun ke belakang dalam menggali memori bersama Tou Kawanua. Disana, di masa yang saya sebut “mundur ke belakang” itu, terutama kita mencoba mengidentifikasi dan juga mengenang kembali kekayaan bersama (orang hebat kadang menyebut Modal Sosial) Tou Kawanua. Mengenang kembali bagaimana Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) menjadi “Rumah Bersama” Tou Kawanua di Tanah Rantau.
KKK = Rumah Bersama …….. ???
Saya meminjam bahasa kegalauan sahabat Joie Worek yang diakhir adu argumen (Group FB: Suara Rakyat Minahasa) panjang mengatakan: KKK = Tampa Bakudapa, Rumah bersama ………….. Titik. Dan tiba-tiba, saya ingat, benar sekali, ketika Om Hans Kawulusan menulis kembali memori indahnya dalam “membentuk” KKK, ada makna tersirat tentang Tampa Bakudapa dan rumah bersama itu. Juga, ketika dengan sangat kritis, Om Christian Lalamentik berkata; di KKK torang saling menguatkan, saling bertemu deng baku tongka satu dengan yang lain. Meskipun, banyak yang “ragu” dan “takut” karena menurut Om Hans, trauma Permesta masih membayang di benak para aktivis Kawanua waktu itu.
Tapi toch, fakta bahwa KKK kemudian menjadi rumah bersama setelah berkembang dari Pinasungkulen Ne Toulour, perlahan-lahan menemukan persemaiannya. Tulisan ini bukan kisah historis (sejarah), tetapi lebih sebagai apresiasi terhadap kisah sejarah guna menemukan spirit baru yang kini berubah itu. Mengapa? Karena bukan singkat upaya dan aksi yang digagas para pencetus KKK untuk membangun KKK itu menjadi “Tampa Bakudapa” dan “Rumah Bersama”. Tempat dimana “pinasungkulan” itu atau bertemunya orang-orang dari arah dan tempat yang berbeda, menjadi sejenis “melting point”. Atau tempat dimana kepelbagaian “interest”, “keinginan”, “niat”, “maksud”, dan motif-motif sejenis tumpah ruah dan saling dipertemukan. Mengapa? Karena torang samua basudara (ini falsafah kemudian oleh Gub. Mangindaan, yang bahasa lainnya oleh Om Ventje Sumual digunakan “Baku Beking Pande”), karena hendaklah fakta persaudaraan ini membuat kita saling menghidupkan (Si Tou Timou Tumou Tou).
Dan, benar, jadilah KKK itu rumah bersama Tou Kawanua di Jakarta dan sekitarnya. Sudah sulit melacak sejak kapan portofolio KKK Jabodetabek itu dimulai atau diperkenalkan. Yang pasti, ada masa KKK disebut di Jakarta dan sekitarnya dan baru beberapa periode terakhir menjadi KKK Jabodetabek dengan tanpa acuan AD/ART yang jelas dan tegas. Tapi, bagaimanapun, Rumah Bersama atau Tampa Bakudapa itu adalah “Tampa Budaya”, “Rumah Budaya” – Tempat atau Rumah dimana kepelbagaian Tou Kawanua dipertemukan. Tepat sekali filosofi ‘Sa Esa Sumerar Kita, Sa Sumerar Esa Kita …..’.
Di Rumah Bersama atau Tampa Bakudapa ini, berjumpalah sejumlah besar tokoh-tokoh Kawanua dan lahir kisah-kisah legendaris. Semisal pertikaian Om Ventje Sumual dan Om Kawilarang. Mereka, dua tokoh legenda Kawanua itu, meski bertikai, tetapi keduanya sangat ……. sekali lagi, sangat menghormati Rumah Bersama. Karena disana mereka bisa berjumpa, bisa bertemu dalam semangat ke-Kawanua-an. Perjumpaan di tempat lain, sangat mungkin berubah konflik, tapi di rumah bersama mereka, rumah KKK, Rumah Kawanua, mereka menghormat dan meredam gejolak dan emosi pribadi.
Orang lain, tokoh lain, kisah lain, dapat kita tambahkan. Paling tidak, satu kisah lagi. Di Rumah Kawanua ini, pada tahun pertama Benny Tengker menjadi Ketua Umum Periode 2007-2012, bertemulah dua tokoh besar Kawanua lainnya: Letjen. TNI. (Purn) E.E. Mangindaan dalam jabatan Menteri dan S.H. SARUNDAJANG (Gubernur SULUT). Keduanya dikenal bertikai sejak lama, dua tokoh besar itu. Tetapi, di HUT KKK Tahun 2008, mereka duduk mengapit Beny Tengker dan saling memuji ketika membawakan sambutan. Event yang diketuai Kol. Erol Lumowa ini, adalah acara besar terakhir yang dilakukan di era Beny Tengker dengan menghadirkan hampir semua tokoh Kawanua di beragam level (Ada setidaknya 5 Menteri dan mantan menteri yang hadir pada waktu itu).
Sebagaimana Om Ventje dan Om Kawilarang, Om Lape dan Om Sarundajang juga merasa berada di rumah yang sama pada tahun 2008 tersebut. Lenyap dan hilang semua perbedaan dan pertikaian, membaur dalam kebersamaan sebagai sesama Tou Kawanua. Mengapa? Karena keduanya, baik Om Ventje maupun Om Kawilarang, maupun Om Lape’ dan Om Sarundajang, berada di rumah budaya mereka, berada di Rumah KKK itu, Tampa bakudapa. Dan catatlah, bukan sedikit konflik yang merebak antar sesama tou Kawanua sejak berdirinya KKK, tetapi kapan semua berada di Rumah Budaya itu, di Tampa Bakudapa itu, semua menghormati aspek budaya dan adat yang merekat kebersamaan sebagai Tou Kawanua.
Keadaan KKK – Rumah Bersama Itu, Belakangan Ini …. !!!
Apa yang terjadi dengan Rumah Budaya itu belakangan? Tunggu dulu, janganlah terlampau cepat mengira bahwa ini adalah persoalan retaknya KKK Pusat dan KKK Jabodetabek. Bukan… Masalahnya bukan itu. Masalahnya apa jika demikian?
Mari kita menengok kebelakang sekali lagi. Apa yang kita temui dengan keadaan rumah Budaya dan Tampa Bakudapa itu untuk perkembangannya dalam, taruhlah 3-10 tahun terakhir ini?
Mudah-mudahan saya tidak subjektif. Tetapi, ibarat rumah yang semakin tua, maka rumah itu seakan tidak sendiri lagi, karena ada rumah-rumah yang lain yang tumbuh disana-sini. Terlebih, karena Rumah Budaya, KKK, seakan tidak lagi menemukan momentum yang pas dan tepat untuk mempertemukan atau menjadi melting point kepelbagaian Tou Kawanua di Tanah Rantau. Ada beberapa momentum dimana ada rumah kecil Kawanua yang coba dibangun, semisal MKI – Masyarakat Kawanua Indonesia. Tetapi, Om Ventje dengan dingin menanganinya: Samua boleh beking, mar kalo Kawanua, pasti musti pulang ke KKK. Saya masih ingat satu kalimatnya ini ketika berbincang di tahun 2005, di kantornya, dan fotonya masih saya simpan. Ini hikmah ketokohannya: impersonal, tidak pandang bulu dan mengedepankan Kekawanuaan. Samua torang berbeda, yang sama, torang dari Tanah Minahasa …… Kawanua torang samua noch ……
Tapi, bukan rahasia lagi, ketika memanggil Ro’ong dan Taranak untuk penjabaran program di tahun 2009, kehadiran tidak lagi sanggup menyentuh angka 50 Ro’ong da Taranak, meski yang hadir hampir 75 orang di AMI/ASMI. Dan ketika dilaksanakan pada tahun 2010, angka yang sama juga dicapai dengan lebih kurang sedikitlah. Dan acara-acara besar KKK sejak tahun 2009, paling banyak dihadiri 1000 orang, dengan pengecualian acara Pelantikan KKK 2007-2012 di Wisma Samudra, yang kebetulan Ketua Panitia adalah Bpk. Beny Mamoto.
Apa yang mau saya katakan adalah, spirit dan energy kebersamaan Tou Kawanua di Tanah Rantau, seperti sedang mengalami pengikisan. Atau sedang mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kehadiran tokoh-tokoh Kawanua semakin minimal, seiring dengan semakin sedikitnya minat Tou Kawanua menjadikan KKK sebagai Rumah Bersama. Padahal, Beny Tengker secara pribadi, tidak pernah merasa lelah memperjuangkan KKK sebagai Rumah Bersama dan Tampa Bakudapa. Tapi, memang, antusiasme, semangat, serta perasaan ingin bertemu sesama Tou kawanua di Rumah Budaya, mengalami penurunan.
Benar, kita bisa menunjuk faktor globalisasi yang deras ditemani individualisme menerpa Indonesia. Akibatnya, Tou Kawanuapun menjadi agak individualis. Selain itu, faktor keterbukaan politik membuat banyak Tou Kawanua menemukan rumah-rumah lainnya, yakni rumah politik yang kemudian menyita waktunya. Karena itu, rumah budaya mengalami penurunan peminat ketika banyak Tou Kawanua berjibaku di rumah politik guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Celakanya, ketika suasana global berubah dan kondisi politik terbuka, Rumah Budaya KKK enggan membaharui dirinya. Caranya, programnya, gaya leadership, pengelolaan program, pendekatan programatis, masih tetap sama dan sebangun dengan tahun-tahun ketika KKK menjadi Rumah Budaya samua Tou Kawanua. Perubahan tidak ditanggapi dengan perubahan, tetapi mencoba melanggengkan apa yang sudah ada dan dimiliki. Akibatnya, semakin banyak orang Kawanua yang betah di rumah politik dan di rumah pribadinya, enggan atau kehabisan waktu mengunjungi rumah budayanya. Inilah proses awal sakitnya rumah budaya KKK dewasa ini.
Dalam kondisi yang sedang menukik seperti ini, tiba-tiba KKK mengalami sejenis GEMPA BUMI. Gempa ini berawal dari MPA VII (KKK) di LEMHANAS, terlihat seperti menggoyahkan rumah budaya atau tampa bakudapa kita. Tapi tidak, ini mestinya menjadi momentum menemukan spirit baru Kawanua.
Spirit Baru Kawanua !!!
Jika beberapa tahun belakangan KKK seperti dilupakan, jarang dilirik dan bukan topik hangat bagi Tou Kawanua, maka tiba-tiba, pasca MPA VII (LEMHANAS, November 2012 dan Lanjutan, Gedung Joeang Juni 2013), KKK kembali menjadi trending topics. Meminjam istilah dunia media sosial, KKK tiba-tiba dibicarakan, didiskusikan, dilirik kembali, dipercakapkan, dipergunjingkan, dan diprihatinkan semua. Setelah lama enggan dibahas, didiskusikan dan diperhatikan. KKK cukup lama bukan topik bagi Tou Kawanua, tapi pasca Lemhanas, tiba-tiba banyak Tou Kawanua bangkit dengan gagah berani membela ……..????
Terlepas dari saling klaim bahwa KKK Jabodetabek atau KKK Pusat yang sah, tetapi kondisi Gempa yang saya sebutkan di atas, menyadarkan banyak orang bahwa Rumah Bersama itu memang sedang bermasalah. Tampa Bakudapa itu sudah cukup lama tidak lagi dilirik. Maklum, berada di KKK itu ibarat memasuki sebuah perusahaan yang pasti RUGI: Rugi waktu, rugi uang, dan masih dimaki-maki anggota tidak becus. Dan ini dialami penulis selama 5 tahun sejak 2007-2012, atau bahkan 15 tahun sejak tahun 1997 berada di KKK.
Apapun yang dikreasikan dan dikerjakan, bukan cuma habis waktu dan menyumbang buat acara, ech, tetap saja dituduh tidak kreatif, beking acara asal-asalan, dan seterusnya. Karena memang Tou Kawanua sangat kritis dan tidak pernah mau berhenti di satu titik, ingin selalu berubah dan maju, meski untuk merumuskan kemajuan itu, mereka enggan. Yang penting harus maju dan kreatif, soal bagaimana melakukannya, lakukan sendiri, dan kami penilainya.
Tapi sekarang, lihatlah: Sejak MPA yang dihadiri hanya sekitar 250-an, kemudian pelantikan Jabodetabek di bawah bayang-bayang ketidakhadiran dan penolakan Beny Tengker dan dihadiri lebih kurang 250 orang; Tiba-tiba KKK kembali menyeruak ke permukaan. Acara Bakudapa Kawanua yang dilaksanakan untuk menghargai Beny Tengker pada Februari 2013 dihadiri nyaris 5000 orang, dan ketika dilaksanakan lagi HUT KKK dan Paskah di bulan April 2013, jumlahnya melewati angka 1000an. Dan terakhir, Pengukuhan secara Adat Minahasa KKK Pusat, September 2013, penonton dan tokoh Kawanua yang hadir, luar biasa, kembali menyentuh angka 5000an. Dan bisa dipastikan, Festival Malesung di awal September 2013, juga secara antusias, didatangi ribuan orang.
Ke level elite, tokoh-tokoh Kawanuapun, kini berbicang soal kondisi KKK. Mengapa demikian (konflik) ?, ada apa sebenarnya? Anda ada dimana? Bagaimana sebaiknya? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di kalangan tokoh Kawanua sekarang ini. Fakta ini bagi penulis adalah indikasi, bahwa ‘Rmah Bersama, Rumah Budaya’ KKK masih dicintai para pemiliknya. Jika mereka seperti diam dan tidak datang, bukan karena mereka kehilangan sentuhan KEKAWANUAAN, tetapi karena ada soal dengan ‘Rumah’ itu. Rumah itu, ketika diguncang Gempa, ternyata menarik minat para pencinta dan pemiliknya untuk datang dan menengoknya.
Ternyata, konflik di lingkungan KKK, melahirkan tafsir dan bahkan bagi saya, energy dan spirit baru Kekawanuaan. Orang lain boleh menafsir negatif, tetapi saya pribadi ingin menafsir begini: RUMAH BUDAYA itu, TAMPA BAKUDAPA itu, masih sangat dicintai. Tetapi, akses dan rasa cinta itu seperti tertutup dan tidak terwadahi selama beberapa tahun terakhir. Ketika rumah dan tempat itu goyah, orang-orang kembali datang dan menjumpai rumah budaya mereka. Sayang, rumah itu sedang kotor, sedang berbenah-benah. Rumah yang seharusnya menjadi melting point, tempat perjumpaan semua kepentingan, kepelbagaian Tou Kawanua, sedang menata sisi-sisi yang pelru ditata dan dirapihkan.
Perhatian dan kerinduan orang pulang dan kembali ke Rumah Budayanya sangatlah tinggi. Beberapa event terakhir yang dilaksanakan membuktikannya. Tetapi, jika energy baru itu tidak terwadahi dan Rumah Budaya itu tetap menampilkan rasa tidak bersahabat, tidak dihuni mereka yang rendah hati, impersonal dan mengedepankan persaudaraan, tidak mengedepankan Kekawanuaan, maka energy baru tersebut akan menggusur Rumah Budaya itu. Energy baru itu, membutuhkan tokoh-tokoh yang hebat Kekawanuaannya, yang hebat Keteladanannya, yang akan menjaga Rumah Bersama sebagai Milik bersama Tou Kawanua. Disana torang bakudapa, disana torang manyanyi, makang, main catur, main bridge dan saling tukar cirita, disana torang minung kopi, kong keapa musti babakalae?
Ketika KKK Pusat datang dan menggelorakan spirit baru itu, bukan karena kehebatan Jimmy H Tampi atau Audy WMR Wuisang. Tetapi karena soliditas 7 Pakasaan yang dibentuk untuk menempatkan Beny Tengker pada posisi terhormatnya. Ke-7 pemimpin tersebut, belakangan menjadi 9 Pakasaan, terdiri dari 7 Ketua Sub Etnis Besar Minahasa dan sudah malang-melintang di dunia Kekawanuaan. Merekalah sumber massa terbesar acara Kawanua di Jakarta dan sekitarnya, merekalah yang merindukan rekonsiliasi, sayangnya pada titik terakhir dilupakan inisiator perdamaian itu. Maka ketika konsolidasi mereka merebak menjadi alternatif yang semakin membesar, jadilah KKK kini wacana besar yang melahirkan energi dan semangat baru KEKAWANUAAN.
Sekarang, mau kita apakah Spirit atau Semangat baru Kekawanuaan itu? jawabnya bukanlah di rumput yang bergoyang, tetapi di mereka-mereka yang pantas dan layak menjawabnya dalam spirit kebersamaan ‘Tou Kawanua’. Mereka, para tokoh dan Tou Kawanua, senang membicangnya lagi, senang datang ke rumah budayanya lagi, sayang jika mereka pulang dengan kecewa dan wajah berkerut, hanya karena generasi pemimpin sekarang lupa dengan semangat Kawanua !!!
Oleh:
Sekretaris Umum K3 Pusat, Audy WMR Wuisang
Kota Wisata, 8 September 2013