Ketika Warga Sangihe Demo Tolak Tambang PT. TMS Saat Sidang MPL-PGI
MASSA yang tergabung dalam Gerakan Save Sangihe Island (SSI) hendak menyuarakan penolakan tegas terhadap hadirnya PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) kepada Gubernur Sulut Olly Dondokambey , merasa kecewa dengan proses pengamanan dengan reaksi yang berlebihan dari pihak aparat kepolisian Polres Sangihe. Pasalnya ratusan massa ini dicegat karena aksi damai dinilai mengganggu jalannya acara pembukaan sidang MPL PGI di GMIST Jemaat Betlehem Tahuna, Jumat (28/01/2022).
Massa aksi damai berasal dari kecamatan Tamako, Manganitu Selatan, Manganitu dan Tabukan Selatan Tengah memang tidak bermaksud mengganggu jalannya acara ibadah pembukaan tetapi membawa aspirasi sikap penolakan tegas terhadap PT TMS kepada Menteri Koordinator Maritim dan investasi Bpk Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang rencananya akan hadir membuka acara sidang MPL PGI di Tahuna. Namun Menko Luhut tidak hadir dan hanya menjadi narasumber pada seminar daring MPL- PGI melalui zoom .
Melalui kesepakatan bersama ratusan massa aksi memputuskan untuk menyampaikan surat penolakkan TMS kepada Gubernur Sulut,Olly Dondokambey SE yang kebetulan juga hadir dalam acara tersebut sebagai salah seorang pimpinan di PGI. Sebab, sudah 3 kali aksi penolakan terhadap TMS dilakukan di kantor Gubernur di Manado, tidak pernah mendapatkan respon dari gubernur .
Menurut Koordinator SSI Jull Takaliuang bahwa massa aksi tidak bermaksud mengganggu jalannya acara pembukaan sidang MPL PGI, sehingga akan menyesuaikan waktu saat peserta sedang istirahat (rehat) minum, baru akan menyerahkan surat penolakkan tersebut secara damai. ‘’Akan tetapi sangat disesalkan, pihak aparat kepolisian melakukan berbagai upaya terkesan menghalangi dan menghambat dengan sengaja mengulur-ulur waktu menahan massa aksi yang ingin menyampaikan surat penolakan secara resmi ke Gubernur,’’ tulis Jull dalam rilis SSI kepada sulutdaily.com.
Warga Sangihe Sepakat Tolak Tambang
Sejak memasuki kota Tahuna sekitar jam 10.15 WITA, di sekitar pertamina Kelurahan Tapuang, konvoi kendaraan dihadang petugas Polres Tahuna dengan alasan sweeping kendaraan. Sehingga memaksa kendaraan massa aksi terhenti dan mengakibatkan kemacetan panjang. Massa aksi sangat kecewa dan tersulut emosi melihat sweeping dadakan tersebut, sehingga menanyakan apakah sweeping tersebut ada surat tugas resmi Polres Sangihe, tapi surat yang ditunjukkan pak polisi yang bertugas adalah untuk pengamanan jalan.
Setelah bernegosiasi, massa aksi yang naik kendaraan terbuka seperti pickup, hiace dan truk, harus berjalan kaki dari depan pertamina sampai ke taman kota Tahuna dan dibolehkan membawa satu (1) kendaraan komando di depan massa. Bagi massa aksi yang menggunakan kendaraan lain bisa membawa kendaraannya sampai di taman kota. Maka massa aksi pun melakukan long march berjalan kaki dengan pengawalan aparat sampai ke taman kota Tahuna, dan berorasi di depan pertigaan jalan sekitar 150 meter dari ke gereja Betlehem lokasi pelaksanaan pembukaan sidang MPL PGI.
Orasi penolakkan tegas terhadap PT.TMS digemakan terus oleh perwakilan masyarakat yang hadir, antara lainnya Arbiter Makagansa dari Salurang, Jan Takasiaheng dari Manganitu, Elbi Pter dari kampung Bowone dan Jendry Gurumias perwakilan dari Aliansi Rakyat Tolak TMS. Selain menyatakan alasan-alasan penolakan yang tidak bisa ditawar-tawar, Elbi Piter, meminta pihak aparat keamanan yang memblokir jalan ke arah gereja Betlehem untuk memfasilitasi masyarakat membawa surat penolakkan terhadap PT.TMS secara langsung kepada Gubernur. Tawar-menawar dengan berbagai alasan sangat nampak sengaja mengulur-ulur waktu. Awalnya pihak aparat menyatakan bahwa sebaiknya diutus 5 orang saja untuk membawa surat, sudah disetujui, tetapi seperti tidak ada kepastian apakah diterima oleh Gubernur atau tidak sekitar jam 11. 30 massa aksi sudah mulai marah dan tidak terkendali, negosiator dari Polres Sangihe menghadirkan Pdt. Jacky Manuputy, Sekjen PGI bersama Pdt. Jacob Atohema Medea sebagai Ketua I bidang Misi dari Sinode GMIST datang menemui massa aksi yang sudah marah dan mulai kehilangan kesabaran.
Melalui pengeras suara di mobil komando, Pdt Jacky Manuputy menyampaikan bahwa PGI telah menerima kehadiran SSI dan Badan Adat Sangihe pada bulan April tahun 2021. Bahkan sudah menindaklanjutinya dengan menyurati Presiden Ir. Joko Widodo agar meninjau kembali izin PT.TMS di pulau Sangihe, mengingat Sangihe merupakan pulau kecil yang dilindungi oleh UU no. I tahun 2014.
“PGI telah bersikap dan berada bersama dalam perjuangan masyarakat Sangihe untuk menyelamatkan pulau ini dari ancaman kerusakan lingkungan akibat pertambangan”, tandasnya. Hal tersebut mendapat dukungan dari Pdt. Jacob Atohema Medea, yang menyemangati massa aksi, bahwa GMIST sudah bersikap tegas dan jelas menolak PT.TMS. “GMIST akan berjuang bersama seluruh jemaat GMIST dan masyarakat Sangihe untuk menyelamatkan bumi Sangihe sebagai ruang kehidupan umat”, tegasnya.
Setelah menyampaikan sikapnya Pdt Jacky bersama perwakilan massa aksi yang ditunjuk untuk menyampaikan pernyataan sikap dan tuntutan kepada Gubernur menuju gereja Betlehem. Akan tetapi setibanya di gereja Betlehem , tempat pembukaan acara MPL-PGI didapati Gubernur dan rombongan sudah meninggalkan lokasi tersebut.
Perwakilan massa aksi yang terdiri dari beberapa orang Kapitalaung (kepala desa) dari kecamatan Tamako yang dipimpin oleh jendral lapangan Ridwan Lahopang (Kapitalaung Menggawa), sangat kecewa karena tidak bisa menyerahkan pernyataan sikap penolakan PT.TMS kepada Gubernur secara langsung.
Informasi yang didapatkan, Gubernur sudah menuju gereja GMIST Imanuel di Apeng Sembeka yang menjadi lokasi dilaksanakannya Sidang MPL PGI karena akan ada Seminar secara daring yang menghadirkan Menteri LBP sebagai narasumbernya. Tanpa banyak tanya, perwakilan massa aksi memutuskan untuk menemui Gubernur di gereja Imanuel. Perwakilan yang diutus adalah Kapitalaung Menggawa, Kapitalaung Hesang, Kapitalaung Kalinda, Kapitalaung Pokol, Kapitalaung Binala, Elbi Piter (dari Bowone), dan Agus Mananohas dari Salurang. Setibanya di gereja Imanuel pun, ternyata sang Gubernur tidak berada di sana.
Petunjuk yang didapatkan, bahwa Gubernur bersama rombongan sedang berada di hotel Dialoog yang baru di resmikan di Manente. Maka, perwakilan massa aksi pun langsung berangkat menuju hotel dimaksud. Sesampai di hotel Dialoog, perwakilan massa aksi yang mengendarai 3 kendaraan tersebut, harus bernegosiasi dengan pihak keamanan hotel, para intel dari polres Sangihe bahkan pihak protokol Gubernur untuk maksud menyerahkan surat penolakan kepada PT.TMS. Awalnya telah dicapai kesepakatan, surat akan diserahkan oleh 5 orang Kapitalaung.
Akan tetapi, ketika para perwakilan hendak berjalan masuk, seorang intel Polres Sangihe mengatakan bahwa hanya satu orang yang diminta untuk menyerahkan surat tersebut, yakni Jull Takaliuang dari SSI. Para Kapitalaung yang sedianya akan menyerahkan surat itupun kembali dengan kecewa.
‘’Sebenarnya, saya tidak bersedia jika membawa membawa surat penolakan itu sendirian dan meminta ditemani oleh 1 atau 2 orang Kapitalaung yang ada, akan tetapi ditolak oleh aparat. Kejadian itu sendiri sempat menyulut emosi Kapitalaung Menggawa, Ridwan Lahopang yang merasa diperlakukan kasar oleh seorang aparat kepolisian,’’jelas Jull Takaliuang.
Dengan dikawal ketat personil keamanan dan protokol Gubernur, Jull Takaliuang akhirnya masuk ke hotel Dialoog, ke salah satu ruangan makan, dimana Gubernur, Bupati Sangihe Jabes Gaghana, Ketua DPRD Provinsi Sulut, dr. Andi Silangen, Ketua DPRD Sangihe dan para pejabat lainnya baru selesai makan siang. Dipersilahkan duduk di kepala meja, ada sebuah kursi kosong, Jull Takaliuang merasa risih dan meminta untuk duduk di kursi yang lain, tetapi tetap dipaksa duduk dikursi tersebut oleh protokol.
Ditegur Keras
Menurut Takaliuang, Gubernur langsung memarahinya dengan pertanyaan “tambang mana yang tidak dia tolak? Menko Marivest LBP dan Menteri Agama batal datang ke Sangihe, hanya karena mendengar isu akan didemo oleh masyarakat, ini kerugian besar bagi Kabupaten Kepulauan Sangihe”, demikian Takaliuang menceritakan pertemuannya dengan Gubernur dan rombongan.
Merasakan suasana yang tidak kondusif, dan Jull Takaliuang meninggalkan 2 map berisi surat yang hendak diserahkan di atas meja yang dikelilingi para pejabat tersebut, lalu beranjak pergi dengan gusar. “Saya dipanggil untuk menyampaikan surat penolakan ini mewakili masyarakat, tetapi saya diperlakukan seperti musuh pemerintah, saya bukan staf khusus atau kadis bawahan gubernur yang bisa dimarahi di depan banyak orang seperti itu, saya tidak punya kepentingan politik, tidak ingin naik jabatan apapun, saya hanya berjuang untuk keselamatan dan ruang hidup masyarakat Sangihe” ungkapnya.
“Kalau Menko Marivest batal berkunjung hanya karena mendengar akan ada aksi damai, itu terlalu mengada-ada dan didramatisir. Apakah sedikit petugas keamanan yang mengawal seorang Menteri? Apakah masyarakat Sangihe terorist yang harus ditakuti atau punya pistol? Lalu apa hubungannya dengan Menteri Agama juga dibawa-bawa? Ini alasan yang tidak masuk akal”, tandas Takaliuang. Ia lalu beranjakpergi keluar dari ruangan tersebut. Beberapa petugas masih mengejar memanggilnya untuk kembali, tetapi dengan sangat kecewa dan marah Takaliuang terus berjalan keluar kearah portal menuju jalan raya dimana rombongannya sedang menunggu.
Jull Takaliuang, menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, dan mengajak perwakilan massa aksi kembali ke lokasi awal dimana massa aksi sedang menunggu di sekitar taman kota. Setelah menjelaskan kejadian terkait dengan penyerahan surat tersebut, massa aksi makan siang bersama dengan menu ketupat dan ikan goreng sous yang dibawa dari rumah.
Merespon informasi yang beredar bahwa bahwa PT.TMS kembali mengirimkan alat berat ke Sangihe, maka massa aksi memutuskan datang ke Pelabuhan Ferry Pananaru. Sesampai di Pelabuhan Ferri Pananaru, mereka membentangkan spanduk dan terus menyerukan menolak PT.TMS, dan menyatakan sikap melalui video bahwa masyarakat Sangihe menolak mobilisasi alat PT.TMS masuk di Sangihe.
Demo Gubernur Salah Alamat
Sementara itu, Staf Khusus Gubernur Sulut Bidang Hukum Jemmy Mokolensang SH mengatakan PT. TMS adalah perusahan pertambangan emas asing yang telah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia dalam hal ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)’’ . Kalau pendemo mau menyampaikan penolakan, salah alamat karena Gubernur tidak pernah mengeluarkan Izin Pertambangan PT TMS,’’kata Mokolensang.
Ia juga menjelaskan, Izin yang dimiliki PT TMS sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ‘’Aksi damainya salah alamat dan justru mengganggu acara Kerohanian MPL PGI di depan Gereja Bethlehem Tahuna,’’ ujar Mokolensang sambil menambahkan alasan ketemu dengan Menko Bidang Kemaritiman itu kurang tepat karena memang beliau tidak hadir dalam acara tersebut.
Lajut Mokolensang, Gubernur Sulut Olly Dondokambey menyatakan jika memang terdapat kekeliruan perizinan atas pertambangan TMS sudah seharusnya diproses melalui jalur hukum melalui gugatan pengadilan TUN atau Perdata. ‘’ Atau lapor ke pihak kepolisian jika ada dugaan Pidana,’’jelasnya.
Gubernur OD hadir diacara itu dengan kapasitas Ketua I PGI. Kehadiran pendemo tambang saat kebaktian pembukaan berlangsung itu sangat disayangkan. ‘’ Jika dikatakan sudah 3 kali melakukan demo dan tidak mendapatkan respon Gubernur, itu karena salah alamat. Dan faktanya Gubernur telah menerima surat aspirasi pendemo melalui perwakilan,’’ ungkap Mokolensang.
Ia menegaskan, apapun alasan dilakukan oleh pendemo sangat mengganggu acara kebaktian pembukaan MPL PGI yang dihadiri Perwakilan Gereja dan Majelis Sinode seluruh Indonesi. ‘’Sebagai sebagai contoh kasus tambang pulau bangka setelah putusan ingkrach bahwa putusan pengadilan menolak pertmabangan di pulah bangka Pak Gub secara tegas langsung menghentikan penambangan biji besi tersebut,’’kata Mokolensang.
Mokolensang juga menginformasikan, PGI telah mengirim surat kepada Presiden untuk meninjau kembali izin PT.TMS. ‘’ Jadi, tidak ada alasan berdemo di depan gereja sehingga mengganggu acara sakral Pembukan MPL PGI,’’tutupnya. (Jr)