Dilema Gambut di Pulangpisau
Laporan Jeane Rondonuwu dari Kalimantan Tengah, Peserta MDK IV Kerjasama LPDS dan Kedutaan Norwegia Tahun 2016
Gambut sumber bencana? Gambut menyimpan cadangan karbon. Jika lahan gambut menjadi kering dan terbakar maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar dan berdampak pada pemanasan global. Dua hal yang perlu dilakukan agar gambut tidak jadi bencana yakni membangun sekat kanal dan sumur bor.
Perahu kayu bermotor (klotok), oleh warga lokal disebut cess yang kami tumpangi mulai bergerak menyusuri sungai buatan Desa Garung. Wajah Usen Junas (67) pun tertunduk ketika melihat kondisi sekat kanal (tabat) di Handel Kala di Desa Garung Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulangpisau, Kalimantan Tengah mulai rusak. Padahal baru tiga bulan yang lalu, tabat itu dibuat.
Handel adalah salah satu dari 12 aliran sungai buatan atau parit. Handel berasal dari bahasa Belanda dan diadopsi suku Dayak Ngaju. Sementara suku Banjar biasa menyebutnya Handil.
Orang mencapai Handel Kala dapat ditempuh dengan cess selama 20 menit dari jembatan Desa Garung, tempat cess diparkir. Air memang lagi surut, namun Usen harus memantau tabat- sebutan warga untuk sekat kanal- dekat lahan perkebunan karet dan sengon – sejenis pohon anggota suku Fabaceae, untuk bahan baku kertas – yang ditanaminya kembali.
Sebelumnya ribuan pohon karet dan sengon seluas 8 hektare siap panen miliknya ludes dilalap api pada bencana kebakaran akhir 2015. ‘’ Tabat ini sudah mulai rusak, harus diperbaiki. Kami membuat tabat ini 3 bulan lalu , ’’ katanya terdengar parau. Ketua Handel Kala ini hanya bisa berharap suatu saat tabat di handel tersebut diperbaiki. ‘’ Kami cemas mungkin kemarau tiba, Gambut akan menjadi sumber bencana. Saya tak ingin ada kebakaran lagi,’’ harapnya.
Kanal dibangun untuk membelah kubah gambut . Ini menyebabkan air dari area gambut mengalir dengan deras. Ketika musim kemarau, kanal ini menjadi penyebab utama keringnya lahan gambut dan muda terbakar. Agar gambut tetap basah, maka kanal harus disekat.
Sekat kanal atau tabat akan mengkonservasi air yang keluar dari kubah gambut.Kanal lebih efektif jika terhubung dengan sungai besar sehingga meskipun musim kemarau kanal tersebut mendapat pasokan air dari sungai.
Selain sekat kanal, sumur bor juga sangat penting untuk menanggulangi dan mencegah potensi kebakaran hutan lahan gambut pada musim kemarau. Sekat kanal berfungsi untuk mencegah kebakaran keran lahan gambut tetap dalam kondisi basah. Sementara, sumur bor berfungsi sebagai sumber air dalam pemadaman jika kebakaran terjadi.
Berdasarkan data analisa klaster hotspot dari situs : sipongi.menlhk.go.id, luas area Kebakaran tahun 2015 di Kabupaten Pulangpisau mencapai 98.784,73 hektare. Meliputi Kahayan Tengah 11.015,96 hektare, Jabiren Raya 10.151,97 hektare, Kahayan Hilir 16.712,93 hektare, Maliku 6.871,20 hektare, Pandihbatu 5.800,04 hektare, Sebangau Kuala 30.424,60 hektare, dan Kahayan Kuala 17.17.808,30 hektare.
Desa Garung memiliki 4 sungai buatan dan 12 Handel. Handel dengan panjang 5-7 km ini merupakan konsep pengelolaan kawasan yang unik, dimana pada awalnya adalah sebuah sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang untuk mengatur arus sungai sehingga bisa dipergunakan untuk lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.
Wanson, Kepala Desa Garung, mengatakan bahwa dari 12 handel tersebut dibutuhkan sekitar 100 lebih tabat, demikian juga dengan sumur bor. ‘’ Saat ini baru ada 2 titik tabat dan 25 titik sumur bor,’’ ungkap Wanson.
Namun, soal sumur bor memang perlu ada survei karena beberapa waktu lalu saat melakukan pengeboran, tiba tiba air yang keluar seperti mendidih dan menyala jika disulut api. . ‘’ Kami belum tahu ada kandungan apa dalam galian sumur itu ,’’ kata Wason sambil menunjukan video sumur bor yang masih misterius tersebut.
Gambut di Pulangpisau
Kabupaten Pulangpisau terletak di bagian Tenggara Provinsi Kalimantan Tengah dengan karakter biofisik hutan dataran rendah dan ekosistem rawa gambut membuat unik wilayah yang memiliki luas 8.997 km2 atau 899.700 hektare ( 5,85% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah 153.564 km 2)
Topografi Pulangpisau bervariasi. Daerah perbukitan setinggi 100 m di atas permukaan laut di Utara, hingga dataran rendah di Selatan mencakup rawa gambut, hutan mangrove, muara dan pantai berpasir, serta tanah mineral yang dimanfaatkan untuk menanam padi.
Menurut Wetlands International – Indonesia Programme, gambut adalah tanah yang jenuh air dan tersusun dari bahan organik, yaitu sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut disebut sebagai Histosols (histos = jaringan).
Kata gambut berasal dari kosa kata bahasa Suku Melayu Banjar yang tinggal di Kalimantan Selatan. Kata gambut juga merupakan nama salah satu ibukota kecamatan gambut yang terletak 15 km dari kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Di Jawa tanah gambut disebut tanah hitam, di Riau disebut tanah rawang dan di Kalimantan Barat disebut sepuk .Dalam istilah internasional, lahan rawa gambut sering disebut bog, fen , moor, di Eropa dikenal dengan mire dan di Amerika Serikat mereka sebut peatland.
Ekosistem rawa gambut tergolong ekosistem rapuh atau gampang rusak namun sulit pulih kembali. Mestinya lahan gambut adalah wilayah yang tak biasanya terbakar, karena lokasinya yang cenderung basah.
Namun akibat dari pembabatan hutan dan pengeringan untuk urusan perusahaan kelapa sawit dan perkebunan, membuat lahan gambut rentan dari potensi kebakaran.
Dr Hendrik Segah menjelaskan bahwa Kabupaten Pulangpisau berada di atas dua kubah gambut besar. ‘’ Tanah gambut ini berasal dari tanah organik sisa-sisa tanaman mati dan membusuk dalam kondisi tergenang,’’ jelas Dr Hendrik yang juga adalah Central Kalimantan Representative, Indonesia Program di Global Green Growth Institute (GGGI). GGGI adalah organisasi yang mempromosikan ‘pertumbuhan hijau’ yakni paradigma pertumbuhan yang ditandai dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
‘’ Enam puluh persen luas kabupaten, sebagian besar berada di wilayah tengah dan Selatan. Kedalamannya berkisar antara 0,5 cm hingga lebih dari 2 meter, dan menyimpan cadangan karbon dalam jumlah yang banyak. Jika terbakar akan melepaskan emisi karbon dan emisi gas lain ke atmosfer yang berimbas pada pemanasan global,’’ kata dosen Universitas Palangkaraya (UNPAR) saat ditemui di Kantor Bappeda Provinsi Kalteng Jalan Diponegoro, Palangka Raya.
Restorasi gambut memang perlu dilakukan untuk mencegah pemanasan global ini, lanjut pria lulusan Hokkaido University, Sapporo, Japan. Tetapi programnya harus tersosialisasi dengan tuntas di masyarakat .
Asal-usul
Yanedi Jagau, Direktur Yayasan Borneo Institut Kalteng, menyebutkan kerusakan lahan gambut di Pulangpisau disebabkan oleh Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) tahun 1995 melalui konversi lahan seluas 1 juta hektar.
Kebijakan pengembangan PLG sejuta hektar di Propinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu mega proyek di era orde baru, masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Penyelanggara utamanya adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertanian. Tujuan proyek ini untuk menjawab tantangan swasembada pangan (beras).
‘’Ratusan kilometer kanal yang sudah dibangun menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan yang serius akibat pengeringan gambut dan kebakaran yang terjadi secara berulang-ulang. Proyek ini gagal karena lahan ini tidak cocok untuk tanaman padi,’’ kata Yanedi yang kini sedang menjalani proyek ‘Orang Dayak Tanam Sejuta Pohon’.
Bupati Pulangpisau H.Edy Pratowo S.Sos MM mengakui bahwa pasca kebakaran 2015 telah meninggalkan kenangan pahit dan ketidaknyamanan warga. Tetapi, Pemkab dan instansi terkait tetap berusaha mencari solusi yang tepat untuk mengelolah dan menjaga lahan gambut di Pulangpisau.
Program restorasi gambut yang digalakkan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) diharapkan akan menjadi solusi dalam menjamin kemakmuran masyarakat sambil meminimalkan emisi gas rumah kaca .
‘’ Restorasi gambut ini tentu membutuhkan dana yang besar, ’’ kata Pratowo saat dihubungi melalui telpon. Saat itu Bupati sedang bersiap ke Amerika Serikat, memenuhi undangan United States Agency for International Development disingkat USAID atau Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika untuk membahas masalah yang berkaitan dengan penanganan kebakaran hutan.
Sekretaris Badan Restorasi Gambut Hartono Prawiratmadja optimis restorasi gambut pasca Kebakaran 2015 akan berjalan lancar. Target 2 juta hektare periode 2016-2020 di 7 provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua akan tercapai,’’ kata Hartono.
Dijelaskan bahwa, program BRG saat ini adalah menyusun rencana restorasi dan panduan teknis. Dilanjutkan dengan pengembangan kapasitas berupa pembangunan infrastruktur pembasahan gambut dan revegetasi (persemaian dan penanaman).
Membangun konstruksi (quick wins, keuntungan segera) melalui sumur bor dan sekat kanal. Kemudian merealisasikan program mata pencaharian dengan 2 model yakni model peternakan dan model pertanian lahan gambut.
Sekat Kanal
Air adalah kunci dalam pengelolaan lahan gambut. Air dapat memasok kebutuhan tanaman, berpengaruh terhadap dekomposisi (penguraian) dan subsidensi (penurunan permukaan) gambut dan berpengaruh terhadap kondisi bahaya kebakaran.
Fasilitator Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (POKKER SHK) Oeban Hardjo mengatakan kanal adalah jalur air buatan manusia. Di lahan gambut kanal harus di sekat atau disebut tabat agar dapat mengatur sistem tata air untuk pembasahan (rewetting).Jika tidak disekat justru akan membuat lahan gambut menjadi kering.
‘’Konstruksi pembangunan sekat kanal harus menggunakan material kedap air guna untuk menjaga ketahanan bangunan. Menggunakan beton tidak dianjurkan sebab lahan gambut bersifat tidak tetap dan penyuka air. Jika dibeton, kondisinya tidak akan tetap dan bangunan tidak akan stabil. Kayu galam lebih baik, tinggi air dari permukaan pada sekat kanal minimal 40 cm.’’ jelas Oeban.
Sejak April-Mei 2016 terdapat 12 tabat yang telah dibangun berdasarkan inisiatif warga bersama SHK, Save Our Borneo (SOB) dan Kemitraan. Tabat ini sudah tersebar di Desa Henda, Desa Garung, Desa Gohong, Desa Kalawa, Desa Mantaren 1 dan Desa Buntoi.
‘’Sebanyak 30 tabat yang akan dibangun BRG sementara dalam proses sosialisasi dan penentuan titik koordinat lokasi tabat yang dibuat. Kami juga sudah mendata sejumlah tabat yang kondisinya sudah rusak dan harus diperbaiki untuk disampaikan kepada BRG,’’ kata pria berkaos bermerek threspass kuning hitam dan terlihat kikuk di depan kamera saat di foto.
Sumur Bor
Kepala P2KLH (Pusat Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan) Univesitas Palangka Raya DR. IR. Aswiin Usup, M.SC mengatakan bahwa kebakaran yang terjadi pada hutan lahan gambut dapat berupa kebakaran permukaan atas (surface fire) yang membakar bahan bakar di atas permukaan lahan gambut. Api menjalar di pepohonan dan/atau semak-semak dan belum membakar tanah gambut di bawahnya.
Kebakaran gambut dikelompokkan menjadi dua yakni kebakaran gambut permukaan (surface peatfire) dan kebakaran di bawah permukaan gambut (undergorund fire).
Kebakaran gambut di permukaan gambut berlangsung pada kedalaman 0-20 cm. Bahan bakar utamanya berupa akar rumput, humus dan patahan-patahan kayu kecil. Sedangkan kebakaran di bawah permukaan gambut adalah kebakaran yang membakar gambut pada kedalaman 20-50 cm dengan bahan bakar utama berupa potongan kayu besar dan matriks gambut.
Dampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut terhadap lingkungan sangat luas. kerusakan ekologi terjadi dengan menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, serta penurunan kualitas udara.
‘’ Lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang. Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi dari biomassa hutan gambut. Kebakaran akan menimbulkan emisi gas karbon dioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbon dioksida berdampak pada pemanasan global,” jelas Dr Aswin.
Pembuatan sumur bor pada lahan gambut atau disebut ‘sumur air dalam’, merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan air pada saat musim kemarau di lokasi yang dianggap rawan kebakaran. Untuk antisipasi pemadaman kebakaran, BRG telah selesai membangun 200 unit sumur bor yang tersebar di sejumlah desa.
“Sumur bor ini memiliki kedalaman 17-30 meter yang berkapisitas 2-5 liter perdetik . Daya semprotnya 15-30 meter. Rencananya BRG akan membuat 1.000 sumur bor lengkap dengan peralatannya di wilayah rawan Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) . Selain itu 84 Kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA), beranggotakan 840 orang di 8 kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau terbentuk. Memang kendalanya pendanaan dari MPA ini,’’ tambah Dr Aswin.
Restorasi gambut bukan tidak punya tantangan. Solusi yang tepat perlu dilakukan dengan cepat, namun Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas menilai bahwa program BRG seperti mimpi. Arie menilai, BRG di Kalteng selama ini belum mampu menunjukkan kerja yang optimal. Harus ada upaya yang sistematis terkait dengan governance atau kebijakan pemerintah yang akan menunjang program restorasi gambut tersebut.
Pengolahan gambut harus dilihat dari akar masalahnya. Kekeringan dan kebakaran hutan pada faktanya banyak terjadi di wilayah konsesi dan tindakan penegakan hukum belum jelas terlihat.
‘’ Kalteng memiliki lahan gambut paling luas yakni 3,1 juta hektar dan sekitar 60 persen sudah dikonsesi oleh kelapa sawit. Restorasi gambut memang harus komprehensif dan penegakan hukum juga perlu diseriusi ,’’ kata Arie. (***)