Apak Perkara Pemerkosaan Anak

Apak Perkara Pemerkosaan Anak

Jumlah kasus pemerkosaan anak di Sulawesi Utara terbilang tinggi. Sebagian besar dibiarkan mangkrak oleh penegak hukum, ada yang berakhir damai dengan imbalan tanah bagi korban. Ada dugaan polisi meminta kutipan untuk memfasilitasi perdamaian. Liputan ini bagian dari program Investigasi Bersama Tempo 4 yang terselenggara berkat kerjasama Tempo, Sulut Daily, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

ANSELMA belum sempat mengganti baju ketika bertandang ke Pengadilan Negeri Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Gadis 14 tahun tersebut mengepang rambutnya yang panjang sebahu. Mengenakan seragam sekolah menengah pertama dengan atasan batik, Anselma—bukan nama sebenarnya—datang bersama Siltje—juga nama samaran—]pada 10 Oktober 2019. Siltje adalah ibu kandung Anselma. 

Hari itu, Anselma, yang menjadi korban pemerkosaan datang ke sidang perdana perkaranya. Ini adalah hari yang dinanti-nanti Anselma sekeluarga. Laporan pemerkosaan keluarga Anselma sempat terhenti karena lobi damai yang disponsori keluarga pelaku.

Pemerkosaan Anselma terjadi pada 5 Mei 2019. Ketika itu, Anselma yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama diminta datang sang pacar, Jonly Rasu, 29 tahun, di sebuah gudang milik Hukum Tua atau Kepala Desa Werot, yang terhitung masih kerabat dekat Jonly. Di gudang yang jauh dari pemukiman itu, Jonly memaksa Anselma untuk melayaninya.

Anselma menolak. Ia berusaha melawan. Tapi, Anselma tidak mampu melawan Jonly, yang terlanjur sudah gelap mata. “Anak saya tak berdaya, hingga akhirnya jadi korban pemerkosaan,” kata Siltje ketika ditemui di rumahnya di Desa Werot, Kecamatan Likupang Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, September 2019. 

Anselma adalah satu dari banyak korban pemerkosaan anak di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sejak dua tahun terakhir, 2018-2019, kasus semacam ini di Minahasa Utara terbilang tinggi. Data Polres Minahasa Utara menunjukan dalam dua tahun, 105 anak di tanah Tonsea menjadi korban pemerkosaan.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Provinsi Sulawesi Utara memiliki data yang hampir sama. Menurut lembaga ini tercatat pada 2017 ada 102 korban pemerkosaan anak di provinsi tersebut. Setahun kemudian, angkanya naik jadi 125 korban. Pada 2019, angkanya 110 korban—data belum genap setahun. 

Jumlah korban pemerkosaan anak diperkirakan lebih tinggi dari catatan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Sulawesi Utara. Sebab, angka-angka itu hanya kasus yang sempat didampingi mereka. Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Sulawesi Utara Mieke Pangkong membenarkan belum semua korban pemerkosaan anak mendapatkan pendampingan. “Masih banyak kasus yang tidak dilaporkan. Baik pada kami atau ke kepolisian,”kata Mieke, di Manado, Oktober 2019.

Adapun Kepolisian Daerah Sulawesi Utara mencatat ada 1.095 laporan kasus yang masuk ke unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) pada 2017, yang di antaranya terdiri dari kasus pencabulan, persetubuhan, perdagangan manusia, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan pornografi atau pornoaksi. Pada 2018 angkanya naik jadi 1.200 kasus. Sepanjang Januari-November 2019, jumlah laporan kasus mencapai 425.  

Banyak kasus pemerkosaan tidak ditangani. Di lingkup Kejaksaan Negeri Minahasa Utara saja, pada 2017, hanya lima belas kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan. Pada 2018, hanya 11 kasus yang disidangkan. Hingga September 2019, baru sembilan kasus naik ke tahap penuntutan dan baru tiga yang dieksekusi. 

Kasus yang diadili itu jauh lebih rendah dibanding catatan Kepolisian Minahasa Utara yang merekam ada 105 laporan kasus pemerkosaan anak sepanjang 2018-2019. Kebanyakan kasus berakhir damai, ditengarai berkat sponsor kepolisian, pemerintah desa dan keluarga pelaku.

SulutDaily.com dan Tempo menelusuri empat korban pemerkosaan anak di Likupang Selatan, Timur, dan Barat di Minahasa Utara. Tiga kecamatan ini—yang masuk wilayah hukum Kepolisian Sektor Rural Likupang—tercatat sebagai kecamatan dengan kasus pemerkosaan anak tertinggi di Minahasa Utara. Berdasarkan data Kejaksaan Negeri Minahasa Utara, di tiga kecamatan itu ada sembilan kasus sepanjang 2018, dari total 21 kasus pemerkosaan anak di kabupaten tersebut. 

Sampai awal Februari ini, dua dari empat kasus pemerkosaan anak di Likupang Selatan, Timur dan Barat telah dipaksa berakhir damai. Satu kasus menggantung lantaran pelaku kabur. Polisi enggan mengejarnya. Hanya satu kasus yang sudah diputus hakim, setelah keluarga korban menanggung malu sekampung dan menolak usaha damai dari kepolisian, keluarga pelaku, dan pemerintah desa.

• • •

SEPEKAN setelah pemerkosaan terhadap Anselma, keluarga Jonly Rasu, sang pelaku, menemui Hukum Tua Werot. Hukum Tua Werot saat itu adalah Fanly Walandow, pemilik gudang tempat kejadian pemerkosaan dan kerabat dekat pelaku. 

Menggunakan otoritasnya sebagai hukum tua, Fanly memanggil keluarga pelaku dan korban ke kantor desa. Pemanggilan itu untuk mendamaikan kedua keluarga. “Orang tua pelaku dan orangtua korban sepakat membuat surat musyawarah kesepakatan damai. Saya menandatanganinya sebagai hukum tua,” ujar Fanly ketika ditemui pada 9 Oktober 2019. “Meski hubungan keluarga sudah jauh, pelaku dekat dengan saya, dia bekerja pada saya.” 

Ada dua surat damai, yaitu surat musyawarah kesepakatan bersama dua keluarga dan surat pernyataan pelaku. Di surat pertama, Welem Rasu, ayah pelaku, meneken kesepakatan untuk menyerahkan sebidang tanah seluas satu hektare di Kembes Dua, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, lengkap dengan kelapa dan tanaman lainnya yang tumbuh di lahan itu sebagai biaya damai. Catatannya, apabila Jonly Rasu dan Anselma menikah, tanah itu akan menjadi harta mereka berdua. Di surat kedua, giliran Jonly Rasu yang meneken surat pernyataan. Selain menyerahkan tanah tadi, dia juga siap menikahi Anselma.  

Di hadapan kepala desa, kepala jaga I—istilah lokal untuk kepala dusun—tiga pejabat desa dan keluarga pelaku, dan ayah korban meneken kesepakatan. Baru beberapa hari kemudian keluarga korban merasa kesepakatan itu tidak adil. “Dia diperkosa dan satu hektar tanah bayarannya? Tidak mau, kami tidak minta tanah. Torang (kami) salah buat kesepakatan seperti ini,’’ kata Siltje di rumahnya yang sederhana, Oktober 2019. Anselma dan keluarganya tinggal di sebuah gubuk bambu dengan satu kamar dan hanya beralas tanah. Rumah mereka satu kilometer dari jalan besar desa, melewati perkebunan kelapa. 

Pada 13 Mei 2019, atau dua hari setelah kesepakatan di balai desa, keluarga korban melaporkan pemerkosaan itu ke Kepolisian Sektor Rural Likupang. Laporan itu diterima baik. Pelaku langsung ditangkap.  

Kepala Unit Reserse dan Kriminal Polsek Rural Likupang saat itu, Inspektur Polisi Dua Don Andaria meminta keluarga korban berdamai. Ditemui di tempat tugasnya, Don yang kini menjadi Kepala Unit Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)Kepolisian ResortMinahasa Utara beralasan upaya damai tersebut permintaan keluarga korban dan pelaku. “Saya hanya ingin membantu saja karena keluarga korban dan keluarga pelaku datang meminta bantuan,’’ kata Don Andaria, 13 November 2019. 

Namun Siltje dan keluarganya jalan terus. Sempat kasusnya menggantung lima bulan, keluarga korban perlahan mulai mendapatkan kepastian sidang. Pada 10 Oktober 2019, Pengadilan Negeri Airmadidi, Minahasa Utara, menyidangkan perkara itu. Jonly dituntut sembilan tahun penjara karena melanggar pasal 81 ayat 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang ancaman hukuman maksimalnya 15 tahun penjara. 

• • •

BUKAN hanya Anselma, ada juga Movari, juga bukan nama sebenarnya. Gadis14 tahun, warga Desa Rinondoran, Kecamatan Likupang Timur, Minahasa Utara, ini diperkosa oleh Demas Alelo, pria tua berusia 70 tahun yang masih tinggal di satu desa. Sang kakek cabul itu justru bebas berkeliaran lepas dari jerat hukum, sementara Movara menanggung cap sebagai korban pemerkosaan, sambil berusaha meneruskan studi sekolah menengah pertama. 

Movara diperkosa pada awal 2018. Belum sempat tertangani, kasus sudah didamaikan duluan. Perdamaian itu bermula ketika Kepala Dusun V Desa Rinondoran saat itu, Yohanis Kansil mengundang keluarga korban dan keluarga pelaku bertemu. Di situ, Hety dan Lisbet Alelo, dua anak pelaku, memberikan duit Rp 5 juta kepada Andaria sebagai jaminan penangguhan penahanan orang tua mereka. 

Usia 70 tahun, dan sakit-sakitan, jadi alasan keluarga pelaku meminta penangguhan Demas. Pertemuan dihadiri keluarga korban yang tuna-aksara. “Saya merasa seperti orang bodoh karena ikut tanda tangan kesepakatan damai,” kata Adriana Mahundingan, pengganti Yohanis Kansil saat ditemui di rumahnya, Agustus 2019.  Senada dengan Adriana, Kepala Jaga IV Nelwan Londo juga mengaku mendengar cerita perdamaian itu dari warganya. “Itu sudah tersebar di warga,” katanya.

Yohanis Kansil mengakui ada dua kali pertemuan dalam upaya mendamaikan pemerkosaan tersebut. Setelah kesepakatan di rumahnya, kesepakatan kedua terjadi pada 6 April 2018 di ruang kerja Don Andaria. “Pertemuan ini menghasilkan surat kesepakatan damai,’’ kata Kansil, yang menyebut surat itu dibuat oleh Don Andaria. Namun Kansil mengaku tak tahu soal duit Rp 5 juta sebagai biaya penangguhan penahanan pelaku. “Kalau pun ada biaya penangguhan itu, saya rasa bisa ditarik lagi.” 

Lisbeth, anak Demas, mengatakan awalnya duit Rp 5 juta akan diberikan kepada keluarga korban. Orang tua korban menolak karena menganggap sama saja dengan menjual anak. Lisbeth membantah duit itu diberikan kepada Don Andaria sebagai biaya penangguhan penahanan. “Kami mau menyiapkan dana itu, tetapi tidak sempat diberikan,’’kata Lisbeth. 

Don Andaria tidak membantah atau mengakui soal duit Rp 5 juta dari keluarga pelaku buat penangguhan penanahan. Don Adaria mengaku terpaksa mendamaikan mereka. “Kondisi pelaku saat mau diperiksa kurang memungkinkan kesehatannya,” katanya. Don Andaria mengklaim keluarga korban setuju kasus ini didamaikan. “Pelaku tidak sempat diperiksa dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan anak korban belum divisum.”

• • •

JEJAK Don Andaria dalam mendamaikan kasus pemerkosaan anak yang masuk di Polsek Rural Likupang ternyata berserakan. Tidak hanya di kasus yang menimpa Anselma dan Movara. Juga pemerkosaan terhadap Joice, 15 tahun, warga yang tinggal di Desa Kalinaung, Likupang Timur. Pemerkosa gadis difabel itu, dua pria dewasa yang telah beristri, Yoppy Tember dan Coan, bebas setelah membayar Rp 15 juta kepada keluarga korban yang juga difabel. 

Merry, nama samaran, adalah anak kedua dari seorang difabel asal Ternate, Maluku Utara. Ibu Merry tiba di Manado, lima belas tahun lalu, membawa Joice dan kakak lelakinya. Ibu Merry minggat dari rumah menghindari kekerasan dalam rumah tangga dengan menumpang kapal. Si kakak kini diadopsi seorang ibu di Gorontalo.  

Ibu Merry pindah ke Kalinaung mengikuti suami barunya. Nahas, kepindahan itu malah membawa petaka buat Merry yang mulai beranjak remaja. Pada April 2018, Joice diperkosa dua pria yang telah beristri.  

Yoksan Salenda, keluarga yang mendampingi korban, mengatakan keluarga pelaku dan korban sebetulnya telah bertemu. Kesepakatan damai tercapai pada 20 Februari 2019. Dalam kesepakatan itu, dua pelaku bersedia membayar biaya perawatan korban hingga sembuh total. “Keluarga korban menjanjikan uang Rp 20 juta,” kata Yoksan saat ditemui di rumahnya pada 10 Oktober 2019.

Berkat kesepakatan itu, dua pelaku dibebaskan dari tahanan Polsek Rural Likupang. Menurut Yoksan, keluarga pelaku pasrah lantaran salah satu pelaku adalah adik dari polisi yang bertugas di Polsek tersebut, yaitu Yoppy Tember. “Yoppy  baru memberi Rp 15 juta dari kesepakatan Rp 20 juta,” kata Yoksan. 

Ayub Tember, kakak Yoppy, yang bertugas di Kepolisian Rural Likupang mengakui adiknya memperkosa Merry. Namun dia membantah terlibat dalam perdamaian. “Saya tahu ada kesepakatan, tapi tidak terlibat di situ,’’ kata Ayub pada 22 November 2019. Don Andaria sendiri mengaku hanya menengahi permintaan damai keluarga pelaku, Yoppy dan Coan. “Saya kadang pusing dengan penangangan kasus yang minta damai ini,” klaim Don Andaria.   

Indikasi pembiaran laporan terjadi di kasus pemerkosaan yang menimpa Jenny, 13 tahun, juga nama samaran. Jenny, nama alias, diperkosa pria beristri, Stanly Dodie, pada Agustus 2018. Keluarga korban melaporkan kejadian itu ke Polsek Rural Likupang pada 12 September 2018. Tidak ada hasil yang didapat keluarga korban selain tiga surat dari Polsek. 

Surat pertama tertanggal 13 September 2018 tentang pemberitahuan hasil penelitian. Surat kedua tanggal 29 September 2018 tentang pemberitahuan hasil penyelidikan. Surat terakhir tanggal 5 Oktober 2018. “Don Andaria minta keluarga cari informasi sendiri untuk menangkap pelaku. Saya binggung harus berbuat apa,” kata Maity, ibu Jenny, juga nama alias, pada 8 Agustus 2019. “Sudah setahun tidak ada kabar lagi.” Pipi dan mata Maity mulai basah mengenang laporan mereka yang tabiar alias terabaikan. 

Don Andaria mengklaim akibat minimnya anggaran penangan kasus, dirinya harus memutar memutar otak mencari solusi. Jalan keluar itu di antaranya perdamaian. “Kami menangani hingga ratusan kasus, tetapi anggarannya sangat minim,’’ Don mengeluh. 

Pengganti Don Andaria di Unit Reserse dan Kriminal Polsek Rural Likupang, Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Agus Cahyo Nggego, mengaku sejak bertugas di kesatuan itu pada Agustus 2019, dia mendapati sebagian berkas kasus hilang. Termasuk kasus-kasus pemerkosaan anak yang pernah masuk ke sana.

Hanya berkas kasus Jonly Rasu yang memperkosa Anselma yang tersisa. “Hampir semua kasus pemerkosaan terhadap anak didamaikan dan berkasnya tidak ada,’’ kata Agus. Agus meminta keluarga korban melapor ulang atau membawa surat bukti laporan  ke pertama ke kantor Polsek.

• • •

SILTJE sadar betul risiko menyeret Jonly Rasu ke pengadilan. Keputusan itu membuka aib sekeluarga. “Kami dianggap bodoh dan menjadi bahan tertawaan di kampung,’’ kata Siltje, ibu Anselma.  

Natal tahun lalu juga bukanlah Natal yang diidamkan Siltje sekeluarga. Ketika warga sibuk menyiapkan hari raya, Siltje waswas menunggu putusan pengadilan. 

Baru pada 8 Januari 2020 kabar yang dinanti Siltje datang. Majelis hakim yang dipimpin oleh Adhyaksa David Pradipta memvonis Jonly tujuh tahun penjara dan denda Rp 60 juta atau kurungan tiga bulan. Saat hakim memutus Jonly, keluarga Siltje sedang berada di Sulawesi Tengah. “Dia kasih putus pas kitorang ndak ada,” kata Siltje pada Februari 2020. 

Siltje tidak puas dengan vonis itu. Tapi, itu sudah cukup daripada harus menerima satu hektare tanah lengkap dengan tanaman yang tumbuh di atasnya sebagai biaya damai pemerkosaan yang menimpa anaknya.

KHAIRUL ANAM | JEANE RONDONUWU

CATEGORIES
TAGS
Share This